Gema Teologika
Browse by
Gema Teologika is published by Faculty of Theology Duta Wacana Christian University periodically twice per year (April and October). The aim of the journal is to publish research articles in the fields of theology, especially contextual theology divinity studies, religious studies, and philosophy of religion in the contexts of Indonesia and Asia.
News
The Globethics library contains all the articles of Gema Teologika from 2016 (vol.1, issue 1) to Current.
Recent Submissions
-
Tamar dan Yusuf: Perbedaan Sikap Terhadap Kasus Pelecehan Seksual Perempuan dan Laki-lakiAbstract Anyone can experience sexual harassment, both men and women, although most victims are women and most perpetrators are men. However, sometimes, the attitude of humans and God towards male victims is different from that of female victims. There are two stories of sexual abuse in the Bible where the victims are man and woman, namely the story of Tamar, whom Amnon abused, and Joseph, whom Potiphar’s wife abused. Although these stories have similarities, there is a difference in how God treated these two victims of sexual abuse. By using qualitative research methods in the form of literature studies, I analyze why there are differences in attitudes towards them. This article uses critical feminist interpretation through a hermeneutic of suspicion or investigation to see the influence of power relations in patriarchal and kyriarchy culture in this story and to give a voice to victims of sexual harassment, especially women, so that they receive gender justice treatment, not only from humans but also from God. Abstrak Siapa pun bisa mengalami pelecehan seksual, baik laki-laki maupun perempuan, walau kebanyakan korban adalah perempuan dan kebanyakan pelaku adalah laki-laki. Namun kadang sikap manusia dan Allah terhadap korban laki-laki berbeda dengan korban perempuan. Ada dua kisah pelecehan seksual dalam Alkitab yang korbannya adalah laki-laki dan perempuan, yaitu kisah Tamar yang dilecehkan oleh Amnon dan kisah Yusuf yang dilecehkan istri Potifar. Meskipun kisah-kisah ini memiliki kesamaan, namun terdapat perbedaan sikap Allah terhadap kedua korban pelecehan seksual tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dalam bentuk studi literatur, saya menganalisa mengapa terdapat perbedaan sikap terhadap mereka. Tulisan ini menggunakan tafsir feminis kritis melalui hermeneutik kecurigaan atau investigasi, untuk melihat pengaruh relasi kuasa dalam budaya patriarkhi dan kyriarkhi dalam kisah ini serta memberi suara pada korban-korban pelecehan seksual secara khusus perempuan sehingga mendapatkan perlakuan yang adil gender, tidak saja dari sesama manusia tetapi juga dari Allah.
-
Kesepuluh Orang Kusta (Lukas 17:11-19) dari Perspektif Penyintas Hiv di Maumere- FloresAbstract This paper aims to analyze the text of Luke 17:11-19 about the ten lepers from the perspective of People Living with HIV/AIDS (PLWHA) in Maumere. The author conducts this research by using qualitative method. The data is taken from depth interviews and participatory observation at Flores Plus Support-Maumere Peer Support Group (KDS). By using a reader-oriented approach, this paper analyzed the experiences of PLWHA and their perspectives on the account of the ten lepers. The findings showed that for HIV survivors in Maumere, peer groups play an important role in raising their hopes in the midst of high rate of stigma and discrimination. In the eyes of PLWHA, the role of KDS can be juxtaposed with the “group” of the ten lepers in Luke’s story. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis teks Lukas 17:11-19 tentang kesepuluh orang kusta dari perspektif Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Maumere. Untuk membahas masalah ini penulis melakukan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi partisipatoris di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Flores Plus Support-Maumere. Dengan menggunakan pendekatan reader oriented artikel ini menganalisis pengalaman para ODHA dan sudut pandang mereka tentang kisah kesepuluh orang kusta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, bagi para ODHA di Maumere, kelompok sebaya memainkan peran penting untuk membangkitkan harapan mereka di tengah tingginya stigma dan diskriminasi. Dalam kacamata para ODHA, peran KDS dapat dibandingkan dengan “paguyuban” sepuluh orang kusta dalam kisah Lukas.
-
Korupsi dan Budaya Malu: Kontribusi Budaya Malu bagi Pengembangan Teologi Malu dalam Upaya Pemberantasan Korupsi di IndonesiaAbstract Corruption is a classical problem that continues to this day. This problem occurs in almost all aspects of human life, occurs anywhere, and Indonesia is no exception. Various efforts have been made to eradicate corruption, including by involving religious institutions believed in providing the theological basis for efforts to eradicate corruption in question. In the Indonesian context, the state’s efforts to overcome corruption are still based on a legal approach. However, handling corruption only through legal approaches is less effective and has not created a deterrent effect for the perpetrators. The legal approach focuses more on legal wrongdoing or corrupt acts, so the perpetrators try to commit corruption secretly. In other words, efforts to eradicate corruption which only emphasize the wrong dimension, have not yet reached the point of integrity or the character of the perpetrators of corruption. Using the synthesis approach of Bevan’s Contextual Theology, we argue that issues of integrity or character can be built in and through a culture of shame. Abstrak Korupsi dapat dikatakan sebagai suatu persoalan klasik yang terus terjadi sampai hari ini. Persoalan ini terjadi hampir dalam semua aspek kehidupan umat manusia, terjadi di mana saja, tidak terkecuali Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan dalam pemberantasan korupsi ini, termasuk dengan melibatkan lembaga keagamaan yang dipercaya dapat memberikan landasan teologis bagi upaya pemberantasan korupsi dimaksud. Dalam konteks Indonesia, upaya negara untuk mengatasi korupsi masih didasarkan pada pendekatan hukum. Namun demikian, penanganan korupsi hanya melalui pendekatan hukum kurang efektif, dan belum menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Pendekatan hukum memang lebih berfokus pada perihal salah secara hukum perbuatan koruptif, sehingga para pelakunya berupaya untuk melakukan korupsi secara tersembunyi. Dengan kata lain, upaya pemberantasan korupsi yang hanya menekankan dimensi salah belum sampai pada pokok integritas atau karakter dari pelaku korupsi. Dengan menerapkan pendekatan sintesis Teologi Kontekstual Bevans dalam budaya Batak dan Nias, kami berpendapat bahwa persoalan integritas atau karakter dapat dibangun dalam dan melalui budaya malu.
-
Konseling Pastoral dan Seni BerkomunikasiAbstract Pastoral counseling is an important part of church life. Pastoral counseling does not solely focus on overcoming problems and finding ways to overcome these problems, but also on the relationship between the counselor and the counselee. There are three contexts that need to be considered in the relationship, namely community life, spiritual relationships or friendships and pastoral conversations. Good communication skills are needed to build and maintain these relationships. Good communication is necessary because pastoral counseling should aim at liberating service. In a modern perspective, counseling ministry is not enough to simply read a passage of the Bible and people start talking to each other. Counseling ministry also needs other approaches that support it, such as medical, psychological, and other approaches. This paper aims to provide an understanding of the importance of communication in pastoral counseling. Communication techniques that support pastoral counseling will be put forward to provide the practical side of this paper. The method used is a qualitative method based on literature study. Abstrak Konseling pastoral adalah bagian penting dalam kehidupan gereja. Konseling pastoral tidak semata-mata fokus pada upaya mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi juga pada relasi antara konselor dengan konseli. Ada tiga konteks yang perlu diperhatikan dalam relasi tersebut, yaitu kehidupan komunitas, relasi atau persahabatan spiritual dan percakapan pastoral. Kemampuan berkomunikasi yang baik diperlukan untuk membangun dan menjaga relasi tersebut. Komunikasi yang baik diperlukan karena konseling pastoral harus bertujuan pada pelayanan yang membebaskan. Dalam perspektif modern, pelayanan konseling tidak cukup hanya dengan membaca bagian Alkitab dan orang mulai berbicara satu dengan yang lain. Pelayanan konseling juga membutuhkan pendekatan-pendekatan lain yang mendukungnya, seperti pendekatan medis, psikologi, dan yang lainnya. Tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman tentang pentingnya komunikasi dalam konseling pastoral. Teknik berkomunikasi yang mendukung konseling pastoral akan dikemukakan untuk memberikan sisi praktis dari tulisan ini. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan berbasis pada studi pustaka.
-
Memikirkan Liturgi PengharapanAbstract The year of 2023 is a year full of challenges. The pandemic of Covid-19 is almost gone yet the Russian aggression against Ukraine just started its second year and this has been involving more countries and causing significant global setback. Ecological problem has been aggravated by series of recent natural calamities. And Indonesia itself has entered a political year. Amid this crisis, which sources of hope remain? Are there liturgical celebrations that would generate hope and empowerment? This article will focus on a hope-generating liturgy. This paper uses Michelle Baker-Wright’s theory that develops the liturgy of hope as a public work. Through a literature study with a critical analysis method, the author explores the meaning of hope from Moltmann and Suharyo. This research will present a meaning of liturgy of hope, its theological dimensions, and the elements of liturgy of hope that must be considered. A Christian liturgy is itself a celebration of hope rooted in an Easter faith. Abstrak Tahun 2023 merupakan tahun penuh tantangan. Setelah pandemi covid-19 hampir surut, peperangan antara Rusia dan Ukraina malah memasuki tahun kedua, dan peperangan ini telah melibatkan banyak negara serta mengakibatkan begitu banyak krisis dan kemunduran global. Sementara itu masalah ekologi telah diperparah oleh serangkaian bencana alam baru-baru ini. Dan Indonesia sendiri sudah memasuki tahun politik. Di tengah situasi krisis ini adakah sumber pengharapan yang masih tinggal? Adakah perayaan-perayaan liturgi yang menumbuhkan pengharapan dan pemberdayaan? Artikel ini ingin menyampaikan sebuah pemikiran mengenai perayaan liturgi yang menumbuhkan pengharapan. Tulisan ini menggunakan teori Michelle Baker-Wright yang mengembangkan liturgi pengharapan sebagai karya publik. Melalui studi kepustakaan dengan metode analisa kritis, penulis menggali makna pengharapan dari Moltmann dan Suharyo. Dari penelitian ini penulis menyampaikan makna liturgi pengharapan, dimensi-dimensi teologisnya dan unsur-unsur liturgi pengharapan yang mesti diperhatikan. Suatu liturgi kristiani semestinya merupakan suatu perayaan pengharapan yang berakar pada iman akan misteri Paskah.
-
Spiritualitas Rengget: Sebuah Ruang Meratap dan Menghayati Communio Sanctorum bagi Mereka yang Berduka Karena KehilanganAbstract Christianity in cultural life often fades cultural values that have a positive impact on human life. One of them is in the cultura of the Karo people, who recognize ancestral heritage called “rengget”. Rengget as a Karo work of art, related to singing and vocals contains many elements. However in reality the rengget or merengget culture is fading because Christian Karo Batak people consider to be un-Christian because of the dominative approach taken by Christianity. It can also point to a belief system, which is related to animism. Culturally, rengget has a deep meaning in life, especially for those who are grieving because of loss. Rengget becomes a mourning room for those who grieve. In addition, rengget can help grieving Karo Batak Christian to enter into an appreciation of the communio sanctorum contained in the Apostle’s Creed of Faith. Abstrak Kristianitas dalam kehidupan budaya kerap memudarkan nilai-nilai budaya yang memiliki dampak positif bagi kehidupan manusia. Salah satunya dalam budaya masyarakat Karo, yang mengenal warisan leluhur bernama “rengget”. Rengget sebagai sebuah karya seni Karo, terkait dengan nyanyian dan vokal mengandung banyak unsur, seperti artikulasi, resonansi, intonasi, vokal, pernapasan, penekanan (cengkok) tubuh. Namun, faktanya budaya rengget atau merengget memudar karena orang-orang Batak Karo Kristen menganggap budaya rengget tidak kristiani karena pendekatan yang dilakukan oleh kekristenan yang dominatif. Juga dapat mengarahkan pada sistem kepercayaan, yang terkait animisme. Secara kultural, rengget memiliki makna mendalam dalam kehidupan, khususnya bagi mereka yang mengalami duka karena kehilangan. Rengget menjadi ruang ratap bagi yang berduka. Selain itu, rengget dapat menolong orang-orang Batak Karo Kristen yang berduka untuk memasuki penghayatan akan communio sanctorum yang terdapat dalam Pengakuan Iman Rasuli.
-
Kebangkitan Kristus dan Upaya Membangkitkan Manusia dari Kematian: Telaah Teologis Terhadap Transhumanisme-krionikAbstract The resurrection of Christ is often associated exclusively with the context of Easter, the redemption of the sinful humans, and the hope of the future resurrection of the faithful. The resurrection from the dead is mentioned several times both in the Old and the New Testaments. Interestingly, both Christianity and transhumanism tend to deny death. In terms of Christianity, that is indicated in the theological view of the resurrection of Christ and the believers; while in that of transhumanism the denial of death is implied in the development of nanotechnology and cryogenics aiming at raising people from the dead. They both promise an incorruptible and antifragile life. But do they share the same meeting point or have a common ground? Can the resurrection of Christ be interpreted from the vision of transhumanism that opens up opportunities for humans to improve their quality of life? This writing describes the views of several thinkers about transhumanism and their relations to theology, especially concerning the issue of the resurrection. The method used is qualitative research with a descriptive model based on a literature study and a public theology approach putting into discussion the existing thoughts on transhumanism, their relationships with religions, and the interpretation of Christ’s resurrection as the meeting point of the redemption theology and transhumanism. Abstrak Pemaknaan kebangkitan Kristus acapkali hanya dilekatkan dalam konteks Paskah, penebusan dosa manusia dan harapan akan kebangkitan yang sama akan dialami oleh umat beriman. Peristiwa kebangkitan dari kematian sebetulnya beberapa kali muncul dalam Alkitab baik Perjanjian Lama atau Baru. Menariknya, jika dilihat sekilas, baik Kekristenan dan Transhumanisme nampak sama-sama menolak kematian. Kekristenandengan pandangan teologi kebangkitan Kristus dan orang beriman, sedangkan transhumanisme dengan pengembangan nanoteknologi dan kriogenik yang membangkitkan orang dari kematian. Keduanya nampak sama-sama menjanjikan kehidupan yang tidak fana dan rapuh. Namun benarkah keduanya memiliki titik temu yang sama? Memiliki landasan yang sama? Apakah kebangkitan Kristus nantinya akan dapat juga dimaknai dari visi transhumanisme yang membuka peluang bagi manusia meningkatkan kualitas hidupnya? Penulisan ini bertujuan untuk menguraikan pandangan-pandangan beberapa pemikir tentang transhumanisme dan kaitannya dengan teologi, khususnya kebangkitan dari mati. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan model deskriptif berdasarkan studi pustaka dan pendekatan teologi publik untuk mendialogkan pemikiran-pemikiran yang ada terkait topik transhumanisme, relasi dengan agama, dan pemaknaan kebangkitan Kristus sebagai titik temu dari karya penebusan dan transhumanisme.
-
Lacunae Iuris dalam Hukum Kebebasan Beragama di IndonesiaAbstract By examining the lacunae iuris, or legal “holes,” in the theoretical sense of Indonesian law on religious freedom, this article falls short of normative juridical research. In particular, the seven points linked to the law of religious freedom—the meaning of religion, the meaning of divinity, the meaning of freedom, its contents, its subject, its boundaries, and the role of the state—will be examined in more depth in this article. This research employs the legal approach method, contrasting ideas of Indonesian laws with international law, which is also acknowledged as a fundamental component of Indonesian law. When these seven points of the law of religious freedom are compared, it becomes clear that Indonesia’s law of religious freedom has some significant gaps, particularly in the areas where freedom is still restricted and where it relates to concepts of divinity and religion that are also severely constrained. The findings of this research may serve as the foundation for initiatives aimed at enhancing Indonesia’s freedom law and ensuring greater justice and certainty. Abstrak Artikel ini adalah sebuah penelitian yuridis normatif dengan mencermati lacunae iuris atau ‘lubang’ hukum dalam arti teoretis dari hukum kebebasan agama di Indonesia. Tujuan artikel ini adalah melihat lacunae iuris itu secara lebih detail, terutama yang tampak dalam tujuh pokok terkait hukum kebebasan beragama itu, yaitu makna agama, makna ketuhanan, makna kebebasan, isinya, subjeknya, pembatasannya, dan peran negara. Metode penelitian ini adalah statute approach, dengan cara membandingkan isi (notions) hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum internasional yang juga diakui sebagai bagian integral hukum. Hasil perbandingan dari isi dari tujuh pokok hukum kebebasan beragama, lacunae iuris hukum kebebasan beragama di Indonesia tampak sangat jelas, terutama dalam isi kebebasan yang masih sempit, terkait dengan konsep tentang ketuhanan dan konsep tentang agama yang sangat terbatas. Hal ini bisa menjadi dasar untuk upaya perbaikan hukum kebebasan di Indonesia agar bisa memberi kepastian dan keadilan yang lebih baik.
-
Memekarkan Hidup dalam Bermedia Sosial: Sebuah Kajian Teologis-Psikologis di Tengah Konteks Revolusi Komunikasi DigitalAbstract As flourishing is a crucial component of Christian theology, it cannot be divorced from the daily lives of Christians. The purpose of this article is to provide a theological foundation for further discussion by examining how the bible discusses the signifi cance of flourishing. The endeavour to flourish in this essay will be evaluated in light of how social media usage, which is now crucial to daily life, is used. Christians can create a thriving existence through the use of social media, particularly Facebook and Instagram, in the context of social media use. Based on the findings of literature reviews on theories relating to the concept of thriving as well as the impact and potential use of social media for blooming life, the research in this paper will be carried out using descriptive-analytical methodologies. A description of blossoming life and its role in Christian theology will be given in the first section. Since well-being is an abstract idea as well, it requires a theory that can be applied to examine it more closely. Due to this, the examination of how social media use can promote the growth of life is covered in the second part's section on that topic. The analysis in this section will be conducted using Martin Seligman's theory of well-being, which will aid in identifying and quantifying the key elements of well-being from an empirical standpoint. Also, in an effort to infuse life with utilizing social media, the final section of this article will propose gratitude as a type of theologically based virtue that can be applied to using social media. Abstrak Kehidupan yang mekar (flourishing) merupakan bagian penting dalam teologi kristen dan oleh karena itu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orang-orang kristen setiap hari. Artikel ini akan mengkaji bagaimana alkitab berbicara mengenai pentingnya kehidupan yang mekar sebagai dasar teologis untuk percakapan yang lebih lanjut. Upaya untuk memekarkan kehidupan dalam artikel ini akan dilihat dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, yang saat ini telah menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Penggunaan media sosial, oleh beberapa penelitian terdahulu diklaim memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan penggunanya, sehingga penting untuk mengkaji bagaimana orang-orang kristen dapat membangun kehidupan yang mekar di tengah-tengah konteks penggunaan media sosial, secara khusus Facebook dan Instagram. Penelitian dalam makalah ini akan dilakukan dengan metode secara deskriptif-analitis berdasarkan hasil studi kepustakaan tentang teori-teori yang berkaitan dengan konsep flourishing dan juga dampak serta potensi penggunaan media sosial bagi kehidupan yang mekar. Pada bagian pertama akan dipaparkan mengenai gambaran tentang kehidupan yang mekar dan tempatnya dalam teologi kristen. Kehidupan yang mekar, yang pada dasarnya merujuk pada konsep kesejahteraan yang utuh dan kompleks, juga merupakan konsep yang abstrak, sehingga diperlukan teori yang dapat digunakan untuk melihatnya secara lebih spesifik. Untuk itu pada bagian kedua, dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, akan dipaparkan analisa tentang bagaimana penggunaan media sosial dapat membawa pada mekarnya kehidupan. Analisa dalam bagian ini akan dilakukan dengan memanfaatkan teori kesejahteraan yang dikemukakan oleh Martin Seligman di mana teori ini akan membantu untuk mengukur dan menentukan komponen-komponen penting dalam kesejahteraan dari sudut pandang empiris. Selanjutnya bagian akhir dari artikel ini akan menyarankan rasa syukur sebagai bentuk kebajikan yang didukung secara teologis yang dapat diterapkan dalam menggunakan media sosial demi upaya untuk memekarkan kehidupan dalam menggunakan media sosial.
-
Tuan Rumah yang Ramah, Tamu yang Rapuh, dan Kaum Peziarah: Misi Gereja yang Hospitabel Bertitik Tolak dari Peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-13)Abstract The idea of a hospitable mission is examined in this essay according to Amos Yong. He contends that the Incarnation and Pentecost, two significant events, are examples of how God’s kindness is displayed (Acts 2). God welcomes and embraces creation through the event of the Incarnation, whereas God lends Godself to creation through the event of Pentecost. The Pentecostal event is where the church’s ministry of hospitality began. The early Church experienced the new and ongoing presence of Jesus, and the Holy Spirit was instrumental in giving believers certainty of this presence. The hospitable theology of the Church’s mission, whose starting point came from the event of Christ’s Creative Transformation, is reconstructed using John B. Cobb, Jr.’s concept of Christ as Creative Transformation as a lens. Abstrak Artikel ini mengkaji konsep misi yang ramah menurut pendapat Amos Yong. Ia berpendapat bahwa hospitalitas Allah diwujudkan dalam dua peristiwa penting yaitu peristiwa Inkarnasi dan Pentakosta (Kis. 2). Melalui peristiwa Inkarnasi Allah menyambut/merengkuh ciptaan, sedangkan melalui peristiwa Pentakosta Allah memberikan diri-Nya kepada ciptaan. Misi Gereja yang ramah memiliki titik permulaannya pada peristiwa Pentakosta. Roh Kudus berfungsi untuk memberikan kepastian akan kehadiran Yesus secara baru dan terus menerus yang mewujud dalam kehidupan Gereja mula-mula. Konsep Kristus sebagai transformasi kreatif (Christ as Creative Transformation) dari John B. Cobb, Jr digunakan sebagai lensa untuk merekonstruksi teologi misi Gereja yang ramah yang titik permulaannya bermuasal dari peristiwa Pentakosta.
-
Ecclesia in Transitu, Di Antara Alfa dan Omega: GPI dan Notae Ecclesiae yang BaruAbstract What are the pertinent indicators of the Church being lived by the GPI in the middle of a disruption related to its identity between oneness and independence, as well as the difficulties of the international context and nationality? is the question that this essay’s introduction poses. This article employs a qualitative approach to address this query, attempting to build a meaning for the church in the age of disruption by analytically interpreting the data obtained. The findings of this research demonstrate that GPI’s courage is walking with God to maintain the independence and unity of being a brother-sisterhood in God’s open banquet by fostering the concept of brother-sisterhood within its own body and assisting in the resolution of national and international problems. It is clear that GPI deserves to display the distinctive characteristics of the Church, including its commitment to multiculturalism, freedom, and Indonesian public liquidity. Abstrak Tulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apa tanda-tanda Gereja yang relevan dihidupi oleh GPI di tengah disrupsi terkait identitas dirinya di antara keesaan dan kemandirian, dan tantangan konteks global dan kebangsaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, pembahasan tulisan ini menggunakan metode kualitatif, dengan berusaha menginterpretasi secara analitis ke atas data-data yang ditemukan untuk mengonstruksi makna menggereja di era disrupsi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keberanian (courage) GPI adalah berjalan bersama Allah untuk meneruskan keesaan dan kemandirian menjadi persaudaraan dalam perjamuan Allah yang terbuka dengan mengusung gagasan persaudaraan di tubuhnya sendiri dan turut mengatasi tantangan kebangsaan dan global hingga ke titik omega. Dapat disimpulkan bahwa GPI layak mengusung tanda-tanda Gereja yang khas, yaitu: persaudaraan, keesaan, kemandirian, multikultural dan keindonesiaan-kepublikan-kecairan.
-
Heteroseksual sebagai Politik Identitas: Kajian Sosio-ideologi Larangan Homoseksual dalam Imamat 18:22 melalui Perspektif LGBTAbstract This article offers a different interpretation of Leviticus 18:22, which has traditionally been seen as a scripture that forbids homosexuality. The Bible outright condemns various sexual orientations such as homosexuality, bisexuality, and bestiality; as a result, the Old Testament portrays heterosexuality as the proper sexual identity. The general reading of texts frequently devolves into pros and contras but leaves little room for other aspects of the text that can allow for a more transformative interpretation. In fact, when texts and the reality of today’s plurality in sexual orientations collide, dominant and judgmental meanings often result. Due to this, socio-ideological studies reread Leviticus 18:22 from an LGBT viewpoint in order to shed light on the Priest’s Tradition’s ideological role in promoting heterosexuality as its identity politics. This analysis gives space to the sociopolitical situation that gives the book its shape, departing from awareness and skepticism of the existence of other realities that are not described or even repressed in the text (behind the text). Hence, it is hoped that the text’s true meaning, one that liberates prejudice via conversation and creativity, might be recovered. Abstrak Artikel ini memberikan pembacaan alternatif terhadap teks Imamat 18:22 yang selama ini cenderung dipahami sebagai teks yang mengecam homoseksual. Teks secara eksplisit menolak beragam orientasi seksual seperti homoseksual, biseksual, bestialitas; dan dengan demikian menggambarkan heteroseksual sebagai identitas seksual yang benar dalam Perjanjian Lama. Pembacaan umum terhadap teks acap kali sekadar jatuh pada persoalan pro-kontra, namun tidak memberikan ruang terhadap dimensi lain dari teks yang mungkin memberikan pembacaan yang lebih transformatif. Sebab dalam faktanya, perjumpaan teks dengan realitas keberagaman orientasi seksual di masa kini cenderung memberikan makna yang menghegemoni dan menghakimi. Untuk itu, kajian sosio-ideologis berupaya menguak peran ideologis dari Tradisi Imam yang mempropagandakan heteroseksual sebagai politik identitasnya, serta membaca ulang teks Imamat 18:22 melalui perspektif LGBT. Berangkat dari kesadaran dan kecurigaan akan adanya realitas lain yang tidak digambarkan bahkan dibungkam dalam teks, kajian ini memberikan ruang terhadap situasi sosial-politik yang membentuk teks (di balik teks). Dengan demikian, diharapkan tercapai pemulihan makna dari teks yang membebaskan prasangka secara jujur, dialogis, dan kreatif.
-
Menggeser Fokus: Dari Penyembuhan kepada Pengakuan Verbal (Sebuah Tafsir Ulang Atas Bilangan 21:4-9 dan Kontribusinya bagi Teologi)Abstract The bronze serpent that rescued the Israelites in Numbers 21:4–9 has frequently been the subject of dogmatic or typological theological interpretation. This viewpoint puts the love of God in Christ as the center of attention. Anyone who has sinned but still trusts in God’s compassion will be pardoned and saved without the need for verbal confession. I put forth a theology of vocal confession using the Carmichael’s primary history framework. Even though God always knows and pardons, sinful humans will only find forgiveness through vocal confession, not by remaining quiet because God already knows what we are doing. The emphasis changed from divine healing to the verbal acknowledgement that was necessary for healing itself as a consequence. Abstrak Secara teologis ular tembaga yang menyelamatkan orang-orang Israel dalam Bilangan 21:4-9, selama ini sering ditafsir dan dipahami dari perspektif tipologis-dogmatis. Dengan perspektif tersebut, penyembuhan sebagai wujud kasih Allah melalui Kristus menjadi fokus. Melalui kerangka sejarah pokok (primary history) yang digagas oleh Carmichael, saya menawarkan sebuah teologi biblika tentang pengakuan dosa verbal. Meskipun Allah maha tahu dan maha pengampun, manusia yang berbuat dosa akan merasakan pengampunan bukan dengan cara berdiam diri – dengan asumsi bahwa Allah pasti sudah tahu apa yang kita lakukan – melainkan dengan kekuatan pengakuan verbal kita. Alhasil, fokus bergeser dari penyembuhan ilahi kepada pengakuan verbal yang menjadi prasyarat kesembuhan itu sendiri.
-
Homo Faber dan Animal Laborans dalam Dunia Pendidikan Teologi di Indonesia: Refleksi dari Pemikiran Hannah ArendtAbstract Theological education (or divinity studies according to the nomenclature of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology) is in a tension between the interest of the Church as a subject, that of the government with its various rules, and the call to answer and provide solutions for society. A practice of theological education often produces either graduates or theological thinking that is only intended for an exclusive community, namely a particular faith community. Using Hannah Arendt's thoughts on homo faber and animal laborans, it is seen that theological education that does not produce a change in society is still in the animal labor stage. For this reason, several conditions are needed for the theological education process to produce homo faber, including criticality, creativity, and freedom. Abstrak Pendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, pemerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat. Tidak jarang pendidikan teologi hanya menghasilkan 'produk' entah lulusan atau teologi yang hanya diperuntukkan bagi komunitas eksklusif, yaitu komunitas anggota gereja. Dengan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan. Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas dan kebebasan.