Gema Teologika
Browse by
Gema Teologika is published by Faculty of Theology Duta Wacana Christian University periodically twice per year (April and October). The aim of the journal is to publish research articles in the fields of theology, especially contextual theology divinity studies, religious studies, and philosophy of religion in the contexts of Indonesia and Asia.
News
The Globethics library contains all the articles of Gema Teologika from 2016 (vol.1, issue 1) to Current.
Recent Submissions
-
Lacunae Iuris dalam Hukum Kebebasan Beragama di IndonesiaAbstract By examining the lacunae iuris, or legal “holes,” in the theoretical sense of Indonesian law on religious freedom, this article falls short of normative juridical research. In particular, the seven points linked to the law of religious freedom—the meaning of religion, the meaning of divinity, the meaning of freedom, its contents, its subject, its boundaries, and the role of the state—will be examined in more depth in this article. This research employs the legal approach method, contrasting ideas of Indonesian laws with international law, which is also acknowledged as a fundamental component of Indonesian law. When these seven points of the law of religious freedom are compared, it becomes clear that Indonesia’s law of religious freedom has some significant gaps, particularly in the areas where freedom is still restricted and where it relates to concepts of divinity and religion that are also severely constrained. The findings of this research may serve as the foundation for initiatives aimed at enhancing Indonesia’s freedom law and ensuring greater justice and certainty. Abstrak Artikel ini adalah sebuah penelitian yuridis normatif dengan mencermati lacunae iuris atau ‘lubang’ hukum dalam arti teoretis dari hukum kebebasan agama di Indonesia. Tujuan artikel ini adalah melihat lacunae iuris itu secara lebih detail, terutama yang tampak dalam tujuh pokok terkait hukum kebebasan beragama itu, yaitu makna agama, makna ketuhanan, makna kebebasan, isinya, subjeknya, pembatasannya, dan peran negara. Metode penelitian ini adalah statute approach, dengan cara membandingkan isi (notions) hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum internasional yang juga diakui sebagai bagian integral hukum. Hasil perbandingan dari isi dari tujuh pokok hukum kebebasan beragama, lacunae iuris hukum kebebasan beragama di Indonesia tampak sangat jelas, terutama dalam isi kebebasan yang masih sempit, terkait dengan konsep tentang ketuhanan dan konsep tentang agama yang sangat terbatas. Hal ini bisa menjadi dasar untuk upaya perbaikan hukum kebebasan di Indonesia agar bisa memberi kepastian dan keadilan yang lebih baik.
-
Memekarkan Hidup dalam Bermedia Sosial: Sebuah Kajian Teologis-Psikologis di Tengah Konteks Revolusi Komunikasi DigitalAbstract As flourishing is a crucial component of Christian theology, it cannot be divorced from the daily lives of Christians. The purpose of this article is to provide a theological foundation for further discussion by examining how the bible discusses the signifi cance of flourishing. The endeavour to flourish in this essay will be evaluated in light of how social media usage, which is now crucial to daily life, is used. Christians can create a thriving existence through the use of social media, particularly Facebook and Instagram, in the context of social media use. Based on the findings of literature reviews on theories relating to the concept of thriving as well as the impact and potential use of social media for blooming life, the research in this paper will be carried out using descriptive-analytical methodologies. A description of blossoming life and its role in Christian theology will be given in the first section. Since well-being is an abstract idea as well, it requires a theory that can be applied to examine it more closely. Due to this, the examination of how social media use can promote the growth of life is covered in the second part's section on that topic. The analysis in this section will be conducted using Martin Seligman's theory of well-being, which will aid in identifying and quantifying the key elements of well-being from an empirical standpoint. Also, in an effort to infuse life with utilizing social media, the final section of this article will propose gratitude as a type of theologically based virtue that can be applied to using social media. Abstrak Kehidupan yang mekar (flourishing) merupakan bagian penting dalam teologi kristen dan oleh karena itu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orang-orang kristen setiap hari. Artikel ini akan mengkaji bagaimana alkitab berbicara mengenai pentingnya kehidupan yang mekar sebagai dasar teologis untuk percakapan yang lebih lanjut. Upaya untuk memekarkan kehidupan dalam artikel ini akan dilihat dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, yang saat ini telah menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Penggunaan media sosial, oleh beberapa penelitian terdahulu diklaim memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan penggunanya, sehingga penting untuk mengkaji bagaimana orang-orang kristen dapat membangun kehidupan yang mekar di tengah-tengah konteks penggunaan media sosial, secara khusus Facebook dan Instagram. Penelitian dalam makalah ini akan dilakukan dengan metode secara deskriptif-analitis berdasarkan hasil studi kepustakaan tentang teori-teori yang berkaitan dengan konsep flourishing dan juga dampak serta potensi penggunaan media sosial bagi kehidupan yang mekar. Pada bagian pertama akan dipaparkan mengenai gambaran tentang kehidupan yang mekar dan tempatnya dalam teologi kristen. Kehidupan yang mekar, yang pada dasarnya merujuk pada konsep kesejahteraan yang utuh dan kompleks, juga merupakan konsep yang abstrak, sehingga diperlukan teori yang dapat digunakan untuk melihatnya secara lebih spesifik. Untuk itu pada bagian kedua, dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, akan dipaparkan analisa tentang bagaimana penggunaan media sosial dapat membawa pada mekarnya kehidupan. Analisa dalam bagian ini akan dilakukan dengan memanfaatkan teori kesejahteraan yang dikemukakan oleh Martin Seligman di mana teori ini akan membantu untuk mengukur dan menentukan komponen-komponen penting dalam kesejahteraan dari sudut pandang empiris. Selanjutnya bagian akhir dari artikel ini akan menyarankan rasa syukur sebagai bentuk kebajikan yang didukung secara teologis yang dapat diterapkan dalam menggunakan media sosial demi upaya untuk memekarkan kehidupan dalam menggunakan media sosial.
-
Tuan Rumah yang Ramah, Tamu yang Rapuh, dan Kaum Peziarah: Misi Gereja yang Hospitabel Bertitik Tolak dari Peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-13)Abstract The idea of a hospitable mission is examined in this essay according to Amos Yong. He contends that the Incarnation and Pentecost, two significant events, are examples of how God’s kindness is displayed (Acts 2). God welcomes and embraces creation through the event of the Incarnation, whereas God lends Godself to creation through the event of Pentecost. The Pentecostal event is where the church’s ministry of hospitality began. The early Church experienced the new and ongoing presence of Jesus, and the Holy Spirit was instrumental in giving believers certainty of this presence. The hospitable theology of the Church’s mission, whose starting point came from the event of Christ’s Creative Transformation, is reconstructed using John B. Cobb, Jr.’s concept of Christ as Creative Transformation as a lens. Abstrak Artikel ini mengkaji konsep misi yang ramah menurut pendapat Amos Yong. Ia berpendapat bahwa hospitalitas Allah diwujudkan dalam dua peristiwa penting yaitu peristiwa Inkarnasi dan Pentakosta (Kis. 2). Melalui peristiwa Inkarnasi Allah menyambut/merengkuh ciptaan, sedangkan melalui peristiwa Pentakosta Allah memberikan diri-Nya kepada ciptaan. Misi Gereja yang ramah memiliki titik permulaannya pada peristiwa Pentakosta. Roh Kudus berfungsi untuk memberikan kepastian akan kehadiran Yesus secara baru dan terus menerus yang mewujud dalam kehidupan Gereja mula-mula. Konsep Kristus sebagai transformasi kreatif (Christ as Creative Transformation) dari John B. Cobb, Jr digunakan sebagai lensa untuk merekonstruksi teologi misi Gereja yang ramah yang titik permulaannya bermuasal dari peristiwa Pentakosta.
-
Ecclesia in Transitu, Di Antara Alfa dan Omega: GPI dan Notae Ecclesiae yang BaruAbstract What are the pertinent indicators of the Church being lived by the GPI in the middle of a disruption related to its identity between oneness and independence, as well as the difficulties of the international context and nationality? is the question that this essay’s introduction poses. This article employs a qualitative approach to address this query, attempting to build a meaning for the church in the age of disruption by analytically interpreting the data obtained. The findings of this research demonstrate that GPI’s courage is walking with God to maintain the independence and unity of being a brother-sisterhood in God’s open banquet by fostering the concept of brother-sisterhood within its own body and assisting in the resolution of national and international problems. It is clear that GPI deserves to display the distinctive characteristics of the Church, including its commitment to multiculturalism, freedom, and Indonesian public liquidity. Abstrak Tulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apa tanda-tanda Gereja yang relevan dihidupi oleh GPI di tengah disrupsi terkait identitas dirinya di antara keesaan dan kemandirian, dan tantangan konteks global dan kebangsaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, pembahasan tulisan ini menggunakan metode kualitatif, dengan berusaha menginterpretasi secara analitis ke atas data-data yang ditemukan untuk mengonstruksi makna menggereja di era disrupsi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keberanian (courage) GPI adalah berjalan bersama Allah untuk meneruskan keesaan dan kemandirian menjadi persaudaraan dalam perjamuan Allah yang terbuka dengan mengusung gagasan persaudaraan di tubuhnya sendiri dan turut mengatasi tantangan kebangsaan dan global hingga ke titik omega. Dapat disimpulkan bahwa GPI layak mengusung tanda-tanda Gereja yang khas, yaitu: persaudaraan, keesaan, kemandirian, multikultural dan keindonesiaan-kepublikan-kecairan.
-
Heteroseksual sebagai Politik Identitas: Kajian Sosio-ideologi Larangan Homoseksual dalam Imamat 18:22 melalui Perspektif LGBTAbstract This article offers a different interpretation of Leviticus 18:22, which has traditionally been seen as a scripture that forbids homosexuality. The Bible outright condemns various sexual orientations such as homosexuality, bisexuality, and bestiality; as a result, the Old Testament portrays heterosexuality as the proper sexual identity. The general reading of texts frequently devolves into pros and contras but leaves little room for other aspects of the text that can allow for a more transformative interpretation. In fact, when texts and the reality of today’s plurality in sexual orientations collide, dominant and judgmental meanings often result. Due to this, socio-ideological studies reread Leviticus 18:22 from an LGBT viewpoint in order to shed light on the Priest’s Tradition’s ideological role in promoting heterosexuality as its identity politics. This analysis gives space to the sociopolitical situation that gives the book its shape, departing from awareness and skepticism of the existence of other realities that are not described or even repressed in the text (behind the text). Hence, it is hoped that the text’s true meaning, one that liberates prejudice via conversation and creativity, might be recovered. Abstrak Artikel ini memberikan pembacaan alternatif terhadap teks Imamat 18:22 yang selama ini cenderung dipahami sebagai teks yang mengecam homoseksual. Teks secara eksplisit menolak beragam orientasi seksual seperti homoseksual, biseksual, bestialitas; dan dengan demikian menggambarkan heteroseksual sebagai identitas seksual yang benar dalam Perjanjian Lama. Pembacaan umum terhadap teks acap kali sekadar jatuh pada persoalan pro-kontra, namun tidak memberikan ruang terhadap dimensi lain dari teks yang mungkin memberikan pembacaan yang lebih transformatif. Sebab dalam faktanya, perjumpaan teks dengan realitas keberagaman orientasi seksual di masa kini cenderung memberikan makna yang menghegemoni dan menghakimi. Untuk itu, kajian sosio-ideologis berupaya menguak peran ideologis dari Tradisi Imam yang mempropagandakan heteroseksual sebagai politik identitasnya, serta membaca ulang teks Imamat 18:22 melalui perspektif LGBT. Berangkat dari kesadaran dan kecurigaan akan adanya realitas lain yang tidak digambarkan bahkan dibungkam dalam teks, kajian ini memberikan ruang terhadap situasi sosial-politik yang membentuk teks (di balik teks). Dengan demikian, diharapkan tercapai pemulihan makna dari teks yang membebaskan prasangka secara jujur, dialogis, dan kreatif.
-
Menggeser Fokus: Dari Penyembuhan kepada Pengakuan Verbal (Sebuah Tafsir Ulang Atas Bilangan 21:4-9 dan Kontribusinya bagi Teologi)Abstract The bronze serpent that rescued the Israelites in Numbers 21:4–9 has frequently been the subject of dogmatic or typological theological interpretation. This viewpoint puts the love of God in Christ as the center of attention. Anyone who has sinned but still trusts in God’s compassion will be pardoned and saved without the need for verbal confession. I put forth a theology of vocal confession using the Carmichael’s primary history framework. Even though God always knows and pardons, sinful humans will only find forgiveness through vocal confession, not by remaining quiet because God already knows what we are doing. The emphasis changed from divine healing to the verbal acknowledgement that was necessary for healing itself as a consequence. Abstrak Secara teologis ular tembaga yang menyelamatkan orang-orang Israel dalam Bilangan 21:4-9, selama ini sering ditafsir dan dipahami dari perspektif tipologis-dogmatis. Dengan perspektif tersebut, penyembuhan sebagai wujud kasih Allah melalui Kristus menjadi fokus. Melalui kerangka sejarah pokok (primary history) yang digagas oleh Carmichael, saya menawarkan sebuah teologi biblika tentang pengakuan dosa verbal. Meskipun Allah maha tahu dan maha pengampun, manusia yang berbuat dosa akan merasakan pengampunan bukan dengan cara berdiam diri – dengan asumsi bahwa Allah pasti sudah tahu apa yang kita lakukan – melainkan dengan kekuatan pengakuan verbal kita. Alhasil, fokus bergeser dari penyembuhan ilahi kepada pengakuan verbal yang menjadi prasyarat kesembuhan itu sendiri.
-
Homo Faber dan Animal Laborans dalam Dunia Pendidikan Teologi di Indonesia: Refleksi dari Pemikiran Hannah ArendtAbstract Theological education (or divinity studies according to the nomenclature of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology) is in a tension between the interest of the Church as a subject, that of the government with its various rules, and the call to answer and provide solutions for society. A practice of theological education often produces either graduates or theological thinking that is only intended for an exclusive community, namely a particular faith community. Using Hannah Arendt's thoughts on homo faber and animal laborans, it is seen that theological education that does not produce a change in society is still in the animal labor stage. For this reason, several conditions are needed for the theological education process to produce homo faber, including criticality, creativity, and freedom. Abstrak Pendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, pemerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat. Tidak jarang pendidikan teologi hanya menghasilkan 'produk' entah lulusan atau teologi yang hanya diperuntukkan bagi komunitas eksklusif, yaitu komunitas anggota gereja. Dengan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan. Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas dan kebebasan.
-
Arketipe Kepribadian Naomi: Suatu Kajian Psikoanalitikal Carl Gustav JungAbstract Naomi is one of the characters in the book of Ruth who experiences many challenges. The death of her husband and two sons left Naomi as a widow. Naomi has to survive with the status as a widow who has limitations in social circles. This paper aims to analyze and describe Naomi’s personality archetypes using Jung’s psychoanalytic studies. The method used is descriptive analytic which is traced through historical traces, characterizations and conversations in the story. The results of the study prove that Naomi is able to survive and has the support of the archetypes contained within her. The archetypes are: anima-animus, shadow, persona, self, and the great mother. With the support of archetypes, Naomi is able to survive and show her best qualities. Abstrak Naomi adalah salah satu tokoh dalam kitab Rut yang mengalami banyak tantangan. Kematian suami dan kedua putra membuat Naomi hidup menjanda. Naomi harus bertahan hidup dengan status janda yang memiliki keterbatasan dalam lingkungan sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan arketipe kepribadian Naomi menggunakan kajian psikoanalitikal Jung. Metode yang dipakai adalah deskriptif analitik yang ditelusuri melalui jejak historis, penokohan dan percakapan dalam cerita. Hasil penelitian membuktikan bahwa Naomi mampu bertahan hidup dan mendapat dukungan dari arketipe yang terdapat dalam dirinya. Arketipe tersebut adalah: animus (pikiran), shadow (bayangan), persona (topeng), self (diri), dan the great mother (ibu agung). Adanya dukungan dari arketipe membuat Naomi mampu bertahan hidup dan menunjukkan kualitas terbaik dirinya.
-
Gadis, Istri, atau Janda: Pendapat Paulus Tentang Seksualitas Perempuan dalam 1 Korintus 7Abstract Women’s sexuality has been defined, regulated and restricted throughout history, religions and cultures. Bible teachings regarding women’s sexuality have also responded to the concept of sexuality in its world. This research analyzes 1 Corinthians 7 using a socio-historical perspective to see how Paul applies specifi crhetorical patterns to revise the concept of female sexuality lived by the Corinthians. The central theme of 1 Corinthians 7 is marriage and celibacy. Examining Corinth’s social and cultural context, this study verifies that Paul’s opinion regarding women’s sexuality transcended those of the Jewish tradition and Greco-Roman culture. Nevertheless, behind his parallel statement pattern that appears more egalitarian, Paul is more interested in regulating women’s bodies and sexualities. Abstrak Seksualitas perempuan telah senantiasa didefinisikan, diatur dan dibatasi dalam berbagai masa, agama dan budaya. Alkitab sebagai teks suci juga turut ambil bagian dalam merespon konsep seksualitas perempuan yang ada dalam dunianya. Artikel ini meneliti 1 Korintus 7 dengan pendekatan sosio-historis untuk melihat bagaimana Rasul Paulus menggunakan pola-pola retoris tertentu untuk merevisi konsep seksualitas perempuan yang dihidupi oleh Jemaat di Korintus. Tema utama dari 1 Korintus 7 adalah kawin dan selibat. Dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang dihidupi orang-orang Korintus, penelitian ini membuktikan bahwa pendapat Paulus mengenai seksualitas perempuan telah melampaui tradisi Yahudi dan budaya Greko-Roma. Meskipun demikian, di balik pola pernyataan paralelnya yang terkesan lebih egaliter, Paulus lebih tertarik untuk mengatur tubuh dan seksualitas perempuan.
-
Teo Ekologi Kontekstual dalam Titik Temu antara Kejadian 1:26-31 dengan Konsep Sangkan Paraning Dumadi dalam Budaya JawaAbstract This article supports the criticism of anthropocentrism as a factor in the environmental crisis. Using the cross-textual reading method, especially looking for similarities between the two texts in a balanced comparison, this study demonstrates the integration of humans and nonhuman creatures in the community of God. References for this thought are found in Genesis 1:26-31 and the Javanese philosophy of Sangkan Paraning Dumadi, a concept about cosmic consciousness asserting that God, human being and nature are one entity. This study attempts to build a contextual theo-ecology by examining the two texts equally. This resulted in a theological awareness that degrades anthropocentrism and replaces it with cosmocentrism emphasizing the unity of humans and non-humans as mutually sustaining God’s creatures. Abstrak Artikel ini mendukung kritik terhadap antroposentrisme sebagai faktor penyebab krisis lingkungan. Menggunakan metode pembacaan lintas tekstual, khususnya mencari kesamaan kedua teks dalam perbandingan yang seimbang, artikel ini memperlihatkan bahwa manusia dan alam tergabung dalam komunitas Allah. Acuan dari pemikiran ini terdapat dalam Kejadian 1:26-31 dan filosofi Sangkan Paraning Dumadi, sebuah konsep tentang kesadaran kosmik yang menegaskan bahwa Allah, manusia dan alam adalah satu kesatuan. Melalui penelitian dua teks secara berimbang, artikel ini berupaya untuk membangun sebuah teoekologi kontekstual. Hasilnya adalah kesadaran teologis yang mendegradasi antroposentrisme dan menggantikannya dengan kosmosentrisme, yang menekankan kesatuan manusia dan alam sebagai ciptaan Allah yang saling melestarikan.
-
Eksplorasi Makna Kematian dan Kehidupan Melalui Tafsir Naratif Kisah LazarusAbstract Works of narrative analysis on the Lazarus’s story in the Gospel of John tend to see the progressions of its plots and characters as flat. This paper proposes an improvisation in the narrative approach of Lazarus’s story, which traces plots and characters within the thematic framework of “death” and “life.” Each character in the story experiences its own “death,” namely physical death; death by disbelief in Jesus; or deadly deep sorrow; but then Jesus gave way to “life,” through the promise of the bodily and eternal resurrection, the promise of salvation by faith in His name, and the promise of consolation in deep sorrow. Abstrak Penelitian-penelitian naratif yang dilakukan terhadap kisah Lazarus dalam Injil Yohanes cenderung memandang datar progresi plot dan tokoh di dalamnya. Makalah ini mengusulkan sebuah improvisasi dalam kritik naratif kisah Lazarus, yaitu menelusuri plot dan tokoh dalam bingkai kerangka tema “kematian” dan “kehidupan.” Setiap tokoh dalam cerita mengalami “kematian” masing-masing, yaitu kematian ragawi; kematian karena ketidak-percayaan kepada Yesus; atau kematian karena dukacita mendalam; tetapi kemudian Yesus memberikan jalan menuju “kehidupan,” melalui janji kebangkitan tubuh dan hidup yang kekal, janji keselamatan oleh iman dalam nama-Nya, dan janji belarasa dalam dukacita.
-
Merayakan Imago Dei Bersama Orang dengan Disabilitas Intelektual dalam Cinta PersahabatanAbstract This article explores the spiritual dimensions of people with mild to severe intellectual disabilities. Dimensions that are increasingly lost and neglected, especially since the Enlightenment era which focuses to intellectuality and rationality as the summa of human existence. Human image with God has been understood only in terms of rational and intellectual abilities which leads to discrimination and neglect of God’s image in persons with disabilities, especially persons with intellectual disability. This article seeks to fi nd the image of persons with intellectual disabilities with God through the manifestation of love and shows that persons with intellectual disabilities like others can find God in Holy Spirit who works beyond human intellectual abilities. Abstrak Artikel ini menelusuri dimensi spiritualitas penyandang disabilitas intelektual ringan hingga parah. Dimensi yang semakin hilang dan terabaikan terutama sejak abad pencerahan yang menekankan intelektualitas dan rasionalitas sebagai keberadaan manusia yang terutama. Kesegambaran manusia dengan Allah sejauh ini dipahami hanya dalam kemampuan rasional dan intelektual yang berujung pada diskriminasi dan pengabaian kesegambaran Allah dalam diri penyandang disabilitas terutama penyandang disabilitas intelektual. Tulisan ini berupaya untuk menemukan kesegambaran penyandang disabilitas intelektual dengan Allah melalui perwujudan hidup yang penuh cinta kasih dan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas intelektual sama seperti mereka yang tidak menyandang disabilitas dapat menemukan Allah dalam kuasa Roh Kudus yang bekerja melampaui kemampuan intelektualitas manusia yang terbatas.
-
Moderasi Beragama Sebagai Hidup yang BaikAbstract Wary of hate speeches and intolerant acts by leaders of radical groups and repeated terrorist attacks in Indonesia, in the second period of Joko Widodo’s presidency, two of these radical groups (HTI and FPI) are disbanded, their leaders apprehended and sentenced, and the terrorist cells are hunted and destroyed. The government launches a program of de-radicalization, using security and legal approaches. At the same time the Ministry of Religious Affairs realizes that these approaches are not sufficient, and promotes a program which is termed as ‘religious moderation’ in the form of a directive. The program is intended to neutralize religious radicalism through awareness of the religiously plural context of Indonesia, and the fact that all religions of Indonesia have accepted Pancasila as the state ideology. The three responses are on the whole appreciative toward this program, but raise critical remarks on some aspects of this program, which remind them of the totalitarian era of the past. Abstrak Dalam rangka mengatasi wacana kebencian, tindakan intoleran dan aksi-aksi teror dari kelompok-kelompok radikal di Indonesia, maka pada periode kedua dari pemerintahan presiden Joko Widodo (2019-2024), dua dari kelompok kelompok ini yaitu HTI dan FPI dibubarkan, pemimpin-pemimpinnya diadili dan dipenjarakan. Banyak sel-sel teroris diburu dan dihancurkan. Tindakan pemerintah ini dilakukan dalam rangka deradikalisasi. Namun Kementerian Agama RI menyadari bahwa pendekatan keamanan dan legal saja tidak mencukupi, oleh karena itu mereka mempromosikan program yang disebut ‘moderasi beragama’ dalam bentuk buku pedoman. Program ini bertujuan menetralisir radikalisme agama melalui kesadaran akan konteks kemajemukan agama dari Indonesia, dan fakta bahwa semua agama di Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Tiga tanggapan secara umum menyambut program ini, tetapi sekaligus memberi catatan-catatan kritis terhadap beberapa aspek dari program ini, yang dikhawatirkan dapat mengembalikan praktik labelisasi dan indoktrinasi yang bersifat wajib bagi semua dari masa Orde Baru.
-
Penyataan Diri Allah di Tengah Kerapuhan Dunia: Pesan Teologis tentang Inkarnasi Allah dalam Tradisi Teologis YohanesAbstract This article describes a theological idea about the presence of God among God’s people. The presence of God takes the form of becoming “flesh” (incarnation), as depicted by the Johannine tradition in the Gospel of John, the First Letter of John, and the Book of Revelation. By becoming “flesh” God wholly participates in the vulnerability and precariousness of the human “flesh”: pointing to the very nature of humanity. This article locates the divine incarnation within the daily life of human beings in the “flesh”. Using the method of simple Bible reading, with a limited theoretical approach, this article suggests a hermeneutical message of the Johannine tradition. Since the Word has become “flesh,” the divine realm could always be found in the vulnerability of the world. As a result, despite suffering (theodicy) remains a mystery, the experience of vulnerability — through critical, persistent, and grateful faith — is potentially worthy of accommodating the divine presence. Abstrak Artikel ini mendeskripsikan suatu visi teologis tentang Allah yang setia menyertai umat-Nya. Kesetiaan menyertai umat-Nya itu terwujud dengan cara men-“daging” (berinkarnasi), sebagaimana terlukis di dalam tradisi Rasul Yohanes: yaitu di dalam Injil Yohanes, Surat 1 Yohanes, dan Kitab Wahyu. Cara men-“daging” itu membuat Allah senantiasa terlibat dalam aspek-aspek kerapuhan dan kehinaan kodrati “daging” manusia. Pertanyaannya, di manakah keterlibatan ilahi itu ditemukan di dalam realitas insani sehari-hari yang selalu bersalutkan aneka kerapuhan kodrati? Dengan metode pembacaan Alkitab sederhana, dengan pendekatan teoretis tafsir yang terbatas, artikel ini berusaha mendekati pertanyaan tersebut dengan memeriksa pesan hermeneutis dari tradisi Yohanes. Karena Sang Sabda menjadi “daging”, maka Allah bersemayam di dalam kerapuhan dunia. Akibatnya, meskipun misteri penderitaan (theodicy) tidak akan pernah dapat dijelaskan oleh manusia secara lengkap, pengalaman derita itu — via iman yang kritis, tabah, dan penuh syukur — selalu berpeluang untuk diolah menjadi wadah perjumpaan ilahi.