Keywords
HV1551-3024 People with disabilities, Including blind, deaf, people with physical and mental disabilitiesP302-302.87 Discourse analysis
P87-96 Communication. Mass media
Full record
Show full item recordOnline Access
http://repository.unair.ac.id/38772/2/gdlhub-gdl-s2-2014-satvikadew-32891-9.abstr-k.pdfhttp://repository.unair.ac.id/38772/13/gdlhub-gdl-s2-2014-satvikadew-32891-full%20text.pdf
Abstract
Penelitian ini mengungkapkan bagaimana kata ‘autis’ menyusun diskursus ‘autisme’ di media sosial Twitter. bagaimana Twitter sebagai media sosial yang berbasis ‘micro-blogging’ yang ruang muat redaksionalnya sangat terbatas (hanya 140 huruf/karakter) berkontribusi pada pembentukan rezim pengetahuan tentang autisme di kalangan netizen (khalayak pengguna media berbasis internet) dan bagaimana Twitter dimanfaatkan sebagai media perlawanan bagi pihak-pihak yang menolak penggunaan stereotip ‘autis’ untuk meminggirkan pihak lain. Diskursus ‘autisme’ pada media sosial Twitter yang ingin diungkap dalam penelitian ini, sesungguhnya berangkat dari fenomena kemunculan sebuah elemen diskursus yang berupa kata yang sebelumnya tak ada menjadi ada, yaitu kata ‘autis’; di media yang sebelumnya tidak eksis menjadi media yang –secara dramatis berkembang menjadi media yang bersifat komplementer bagi media arus utama, yaitu Twitter. Menggunakan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) dengan strategi penelitian Corpus Linguistic Approach, didapat hasil penelitian bahwa diskursus ‘autisme’ di Twitter tersusun dari berbagai bentuk penggunaan kata ‘autis’ dalam tweet merepresentasikan sejumlah fenomena, yaitu: berakhirnya era eksklusivitas diskursus ‘autisme’, meluasnya budaya ‘terlalu menyederhanakan’ (over-simplification), kecenderungan aktualisasi dan narsisisme melalui media sosial, Twitter sebagai media alternatif pemasaran ide penyadaran autisme (autism awareness), pembiasaan dan pengaruh melalui mekanisme virtual word of mouth dan pemanfaatan popularitas kata ‘autis’ untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral; antara lain mengarahkan pengguna ke situs pornografi, judi atau minimal memanfaatkan fasilitas akun palsu. Pengetahuan tentang ‘autisme’ yang terbentuk di media sosial Twitter terpolarisasi menjadi pengetahuan bahwa ‘autis’ adalah penyakit dan ‘autis’ bukan penyakit, selain itu pengetahuan tentang penggunaan kata ‘autis’ dalam tweet itu sendiri. Pengetahuan-pengetahuan tentang ‘autis’ tersebut memunculkan efek kuasa yaitu pertarungan diksi antara ‘penyandang’ dan ‘penderita’ untuk menyebut individu yang terdiagnosis autis, yang lebih mengemuka dibandingkan pertarungan yang lebih esensial antara episteme ‘autis’ sebagai sakit/penyakit/keadaaan sakit atau bukan. Rezim pengetahuan tentang ‘autis’ berkuasa dengan indikasi menghilangnya atau sengaja dihilangkannya atau digantikannya sejumlah kata yang memiliki kemiripan atau kesesuaian dengan manifestasi autisme pada diri individu. Misalnya, kata ‘autis’ lebih dipilih untuk menggantikan kata ‘gila’, ‘bodoh’, ‘sangat kreatif’, ‘sangat fokus’, ‘kecanduan game’.Date
2014-07-01Type
ThesisIdentifier
oai:repository.unair.ac.id:38772http://repository.unair.ac.id/38772/2/gdlhub-gdl-s2-2014-satvikadew-32891-9.abstr-k.pdf
http://repository.unair.ac.id/38772/13/gdlhub-gdl-s2-2014-satvikadew-32891-full%20text.pdf
A.A.I Prihandari Satvikadewi, 071214853044 (2014) DISKURSUS 'AUTISME' DI MEDIA SOSIAL TWITTER. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.