Now showing items 1-20 of 280694

    • How do health professionals in a Kenyan health facility learn to tackle Antimicrobial Resistance?

      Tegama, Natalie (2023-09-29)
      In 2015, the World Health Organisation set the goal to reduce Antimicrobial Resistance (AMR) as a global priority on their agenda. It is estimated that AMR could kill as many 10 million people per year. Tackling AMR requires concerted efforts of which many recommended approaches highlight the important role of the workforce. This has been pivotal in directing the line of inquiry for this thesis.
 
 This thesis uses mixed methods research to examine the challenge of AMR in Kenya. Mapping its underpinning historical and social roots with the view to explore how health professionals in a peri-urban, Kenyan health facility learn to tackle AMR using learning technologies. The thesis demonstrates the development of a body work that negotiates the tension between western methodologies that are emblematic of the modern university with African ways of knowing, thinking, and living. It engages with the materiality and praxis of decolonisation as grounded in resistance, adroitly creating small ruptures from Eurocentrism to conceptualise the challenge of AMR though an African lens in an attempt to comprehensively answer the following questions:
 
 • To what extent and through what methods do health professionals engage with continuous professional development ? 
 • What socioeconomic factors impact learning for health professionals? 
 • What are the barriers and facilitators to learning about and practicing AMR stewardship? 
 
 The thesis methodologically demonstrates critical engagement with theoretical tools and develops a conceptual framework that leverages Cultural-Historical Activity Theory and Design based research in mapping context, informing design, and facilitating analysis. The theoretical framework furthers a sociocultural and sociomaterial understanding of practice and practice-based learning and illustrates a decolonial approach that centres spatiotemporal nuances in ethics, culture, and practice to develop a feasible and contextually appropriate solution to tackling AMR through the use of e-learning.
    • GERAKAN EKOSENTRISME DALAM KOMUNITAS RESAN GUNUNGKIDUL

      Muhammad Khairan, NIM.: 16510059 (2023-07-18)
      Skripsi ini mengkaji tentang Gerakan ekosentrisme yang dilakukan oleh komunitas
 Resan Gunungkidul. Komunitas Resan Gunungkidul dalam Gerakan konservasinya memakai
 pendekatan budaya agar lebih menarik masyarakat untuk menjaga dan menanam. Dan juga
 dalam gerakannya, komunitas Resan Gunungkidul mengedepankan etika jawa dalam proses
 konservasinya.
 Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berbasis penelitian lapangan (field
 research), dan menggunakan sumber data berupa hasil wawancara, dokumentasi, serta tinjauan
 literature. Teknik analisis data menggunakan metode deskriptif dan analisis. Tahap dalam
 metode analisis terdiri dari; identifikasi dan verstehen untuk membahas bagaimana implikasi
 Gerakan Ekosentrisme dalam komunitas Resan Gunungkidul.
 Penelitian ini menemukan dua hasil penelitian, yaitu : pertama, implikasi dari Gerakan
 Resan Gunungkidul berupa terjaganya sumber-sumber mata air dan bahkan akan memunculkan
 sumber-sumber mata air yang baru lewat Gerakan penanaman. Kedua, komunitas Resan
 Gunungkidul memusatkan perhatian bukan hanya pada manusia tetapi juga pada tumbuhan dan
 hewan. Dengan gerakan menjaga pohon akan menyelamatkan para hewan-hewan seperti
 burung karena bagi burung, pohon adalah segalanya, burung membutuhkan pohon sebagai
 tempat bersarang, juga tempat mencari pakan berupa buah, biji dan serangga. Selain itu, secara
 alamiah burung-burung yang telah memakan buah akan membuang bijinya ke tanah dan
 berubah menjadi bibit pohon dan akan tumbuh alami setelahnya.
    • JILBAB SEBAGAI FENOMENA BUDAYA DAN AGAMA (Studi tentang Berjilbab di SMU Muhammadiyah Ngawen Gunungkidul)

      Sumiati, NIM.: 00410153 (2004-10-19)
      Jilbab adalah baju kurung yang longgar, yang dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Biasanya anak wanita yang sudah mulai menginjak dewasa, mereka memakai hijab sebagai pertanda bahwa mereka minta dimuliakan. Idealnya jilbab membuat seorang muslimah berperilaku sesuai dengan spirit yang terkandung di dalamnya, anggun, elegan dan mulia tanpa mengabaikan adab dan etika berpakaian, sehingga jilbab yang dikenakan seseorang membentuk karakter positif dalam dirinya. Hal ini juga berdampak pada lingkungan sekolah dengan adanya keputusan Dirjen Dikdasmen mengeluarkan peraturan yang mengakomodasikan kerudung dalam pakaian seragam sekolah. SMU Muhammadiyah Ngawen Gunungkidul menetapkan ciri khusus penyelenggaraan pendidikannya antara lain dengan mewujudkan Perguruan Muhammadiyah sebagai lembaga da'wah. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa makna jilbab bagi siswa SMU Muhammadiyah Ngawen, Gunung Kidul?
 2. Apa faktor pendukung dan penghambat pemakaian jilbab bagi siswa SMU Muhammadiyah Ngawen, Gunungkidul?
 Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia atau disebut dengan pengumpulan data dari berbagai sumber yaitu dariwawancara, observasi, pengamatan, yang sudah dituliskan dalam catatan harian baik dokumen pribadi maupun dokumen resmi serta ditunjang dengan adanya angket.
 Hasil penelitian ini adalah: 1. Siswa yang Memandang Jilbab sebagai :
 a. Fenomena Budaya
 Siswa SMU Muhammadiyah memandang jilbab yang dikenakan hanya sekedar memenuhi kewajibab yang diterapkan oleh pihak sekolah sehingga dalam pelaksanaannya mereka belum komitmen dengan jilbab yang ia kenakan. Namun dengan adanya peraturan di sekolah tersebut dapat menjadi sarana untuk membiasakan diri dalam berjilbab serta mampu mengambil hikmah dari diwajibkannya berjilbab sehingga jilbab tidak hanya menjadi sebuah budaya saja namun budaya yang diluruskan sesuai ajaran Islam.
 b. Fenomena Agama
 Siswa memahami dan menyadari bahwa jilbab merupakan suatu kewajiban bagi muslimah yang telah baligh dan merupakan refleksi ibadah kepada Allah swt dan pewajiban tersebut merupakan kebutuhan pribadinya untuk dapat mudah dikenal sebagai muslimah, menjaga kehormatan, tehindar dari gangguan laki-laki asing, dan membuat mereka berusaha untuk berperilaku seperti pakaian yang ia kenakan, santun, ramah dan bermanfaat bagi yang lain. 2. Dalam pelaksanaan berjilbab di SMU Muhammadiyah Ngawen Gunungkidul terdapat faktor pendukung dan penghambat, yaitu a. Faktor Pendukung, 1) Adanya peraturan berjilbab disekolah akan membiasakan untuk selalu mengenakan jilbab.
 2) Adanya keinginan pribadi siswa untuk komitmen berjilbab.
 3) Adanya dukungan keluarga maupun teman-teman dekat.
 4) Kondisi lingkungan yang kondusif
 b. Faktor Penghambat, 1) Rendahnya kesadaran siswa untuk konsisten dalam berjilbab.
 2) Kondisi keluarga yang tidak mendukung.
 3) Pergaulan bebas diantara remaja.
 4) Lingkungan yang tidak mendukung
    • KONTEKSTUALISASI HADIS LARANGAN BERPERILAKU KONSUMTIF TERHADAP PRAKTIK PEMBELIAN MERCHANDISE KPOP

      Fitra Alfira, NIM.: 19105050069 (2023-04-10)
      Perkembangan budaya era globalisai menciptakan sebuah industri budaya yang menyebabkan masyarakat akan melakukan konsumsi dan memunculkan perilaku konsumtif contohnya, Kpop. seperti penggemar Kpop yang melakukan perilaku Konsumtif. Tidak dipungkiri para penggemar tersebut kebanyakan beragama Islam, tentu berangkat dari agama mayoritas yang di anut di indonesia. Islam menjadi objek yang krusial yang harus dibahas, islam memiliki otoritas tersendiri dalam memberikan tuntunan dan pedoman kepada umatnya, termasuk secara khusus dalam hal Konsumsi, pedoman tersebut juga didasari dari pokok pedoman islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Penyusun tertarik untuk meneliti bagaimana pemahaman hadis tentang larangan berperilaku Konsumtif dan Kontekstualisasinya terhadap perilaku Konsumtif penggemar Kpop. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). dengan sifat penelitian deskriptif analitis yaitu memaparkan objek penelitian berdasarkan data-data serta fakta yang ada. Untuk memahami hadis penulis menggunakan teori pemikiran Nurun Najwah dalam menganalisa dan memahami hadis Konsumtif. Dalam memahami hadis Nurun Najwah menawarkan beberapa metode antara lain, yaitu : meniliti dari aspek bahasa, Konteks historis, Kajian tematik dan Ide dasar. Diharapkan langkah-langkah tersebut dapat menjembatani Hadis yang ada pada masa Nabi hingga masa kini dengan mencarikan ide dasar terhadap hadis dan konteksnya pada dewasa ini.
 Hasil penelitian ditemukan bahwa hadis yang dapat dipahami tentang larangan berperilaku konsumtif adalah bahwa konsumsi merupakan hal yang wajar dilakukan oleh setiap manusia yang hidup di muka bumi ini untuk kelangsungan hidup manusia, namun konsumsi harus tetap dilakukan dengan melihat batasan-batasan Konsumsi dalam Islam. Selanjutnya kontekstualisasi hadis terhadap praktik pembelian merchandise Kpop perspektif hadis terkait boleh dan tidaknya tergantung aktivitas yang menyertainya. Sepanjang tidak masuk ke ranah konsumtif yang mengandung banyak kemudharatan di dalamnya dan tidak merugikan diri sendiri maupun sekitarnya, secara kontekstual hadis larangan berperilaku konsumtif dapat menjadi pendekatan dalam memberikan solusi terhadap etika konsumsi pada praktik pembelian merchandise Kpop maupun pembelian komoditi lainnya.
    • STRATEGI PENGUATAN BUDAYA LOKAL BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER SOPAN SANTUN PADA SEKOLAH DASAR NEGERI 03 ALAI KOTA PADANG

      Muhammad Syukri, NIM: 21204081040 (2023-05-29)
      Penelitian ini di latar belakangi oleh pentingnya karakter sopan santun pada peserta didik Sekolah Dasar Negeri 03 Alai Kota Padang. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang: Pertama bagaimana gambaran sopan santun pada Sekolah Dasar Negeri 03 Alai Kota Padang. Kedua, untuk mengetahui bagaimana strategi penguatan budaya lokal berbasis pendidikan karakter sopan santun pada Sekolah Dasar Negeri 03 Alai Kota Padang. Ketiga, untuk mengidentifikasi apa faktor pendukung dan penghambat penguatan budaya lokal berbasis pendidikan karakter sopan santun pada Sekolah Dasar Negeri 03 Alai Kota Padang. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data kualitatif dilakukan dengan cara pengumpulan data (collection data), kondensasi data (data condencation), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion). Subjek penelitian adalah kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan sekolah dasar 03 Alai kota padang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Kondisi sopan santun pada Sekolah Dasar Negeri 03 Alai Kota Padang memiliki kekhasan kearifan lokal masyarakat Padang dalam perspektif beberapa unsur budaya, meliputi unsur bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, religius dan bidang kesenian. 2) Strategi penguatan budaya lokal berbasis pendidikan karakter sopan santun pada Sekolah Dasar Negeri 03 Alai Kota Padang dilakukan dengan pemberian keteladanan, pembiasaan, komunikasi, nasehat atau teguran, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). 3) Beberapa sikap positif dari guru menjadi faktor pendukung penguatan budaya lokal berbasis pendidikan karakter sopan santun pada Sekolah Dasar Negeri 03 Alai Kota Padang di antaranya adalah: ada sikap ketegasan, adil/tidak pilih kasih, dan konsisten dalam ucapan dan perbuatan. Adapun faktor pendukung penguatan budaya lokal berbasis Pendidikan karakter sopan santun adalah: (a) Komitmen guru dalam menjaga etika berbicara (b) Guru bersikap tegas, (c) Guru Tidak pilih kasih, (d) Guru yang Konsisten dalam ucapan dan perbuatan. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu: (a) lngkungan keluarga, (b) lingkungan tempat tinggal, (c) lingkungan sekolah.
    • Obligation As Ethics: The Power of Roman óϕϵιλη As the Key to Conflict Resolution in Romans 14:1-15:13

      Duncan, John D. (2013)
      One weakness in some contemporary New Testament studies involves examining a word meaning without considering the depth of its meaning in light of historical, social, and customary first-century usage. The challenge comes in reading a word in contemporary twenty-first-century language, but understanding its full meaning from the first-century culture. New Testament studies of Paul in his Epistle to the Romans tend to focus on his theology as a theological treatise or to focus on certain social theories that limit the scope of cultural underpinnings in the Greek text. Obligation as ethics, the power of óϕϵιλη(obligation) as the key to conflict resolution, aims to examine Romans 14:1-15:13 in its historical-sociological context with an emphasis on Roman law. 
 
 Rome was a peculiar society where its inhabitants were required to fulfil obligations and duties as a vital part of daily living. Therefore, obligation in Roman society filters through Roman law, character, customs, and a path of duty in daily life. Obligation in the Christian community required rethinking the customary standards in obligation to Jesus Christ. Roman law influenced custom, determined a course of social interactions, and reinforced behaviour patterns. It was founded on Roman law and its legal basis set forth a map, a plan, a nexus of social ties in relationships, and clear expectations in daily social practice. Roman law itself was structured in a framework of Graeco-Roman virtues and vices which influenced the character and societal customs (<i>mores</i>) of its citizens and non-citizens. 
 
 The construct of virtue, as practiced in the first century, accentuated a long history of aristocratic rules and defined social roles that solidified a Roman social hierarchy that polarized two social classes: the strong and the weak. The strong were the aristocratic superiors based on rank, status, wealth, and prestige. The weak were social inferiors who, according to Roman law and the <i>mores</i>, were obligated to submit to the power of the strong. Roman obligation, a critical tool for Roman social practice, order, harmony, and conflict resolution, served in society as a lubricant to order society and to relieve social tensions. 
 
 The textual evidence of Romans 14:1-15:13, and the context underpinning it, indicate that the social distinctions of ‘the strong’ and ‘the weak’ were reflected in the early church in Rome. Their tendency, based upon Roman law and social custom, was to relate as the superior strong and the inferior weak with the weak obliged to submit. However, Paul plunders this concept and makes use of the conventional tool of Roman obligation in a new way. His countercultural solution aimed to resolve the tension that threatened to split the church.
    • Conceptualisations of Educational Technology in Distance Education: with special reference to the British Open University, the Spanish Universidad Nacional de Educacion a Distancia, and the Portuguese Universidade Aberta

      González Estepa, Francisco J. (2002)
      This research addresses the question of what is the concept and role of educational technology in relation to distance education. This question is approached through an examination of three distance teaching universities: the British Open University (OU), the Spanish Universidad Nacional de Educación a Distancia (UNED), and the Portuguese Universidade Aberta (UA).
 
 A socio-cultural analysis explores the history, philosophical assumptions and applications of educational technology at each of the universities. Thus educational technology and distance education are discussed as interdependent and overlapping concepts. The socio-cultural approach is applied within a multi-modal systems theoretical framework. Along with these, the concept of world-view in intercultural communication is of central importance.
 
 On the basis of this theoretical scaffolding the research has sought to avoid any comparative judgements of the relative 'superiority vs. inferiority' of the various distance teaching universities that might hinder meaningful interactions among them. As a qualitative inquiry the research rejects models and attitudes of assimilation ('cultural domination' or 'sub-cultural imperialism') and seeks to show the value of dialogue between, and the recognition of diversity among, the participating institutions.
 
 Field work, including interviews and documentary analysis, has been conducted at the three major sites: Lisbon, Madrid and Milton Keynes. The interview data has been analysed using the GABEK (Ganzheitliche Bewaltigung von Komplexität - Holistic Processing of Linguistically Represented Complexity) method. The analysis not only identified a number of key issues about educational technology and distance education, from a multicultural perspective, but it also gave rise to a new definition of educational technology in terms of curriculum and power.
 
 The social function, along with the academic raison d'etre of these institutions, has been further explored and contextualised. Among the prominent topics that emerge from the various analyses is that of ethics: a relatively unexamined area in the field of distance education and educational technology. An effort has been made to introduce ethical concerns on the agenda for reflection among educational technologists and distance educational practitioners. I suggest that this topic has special relevance both to international collaborations and to the current engagement of the three universities in question with the promotion of distance education in developing countries. Finally, a proposal for the building up of communities of discourse in distance education in the various languages of this research is discussed.
    • Parents’ perspectives and practices around the schooling of children in rural Northern Nigeria

      Oyinloye, Bukola (2021)
      Parental involvement – parents' commitment of resources to children's schooling – has received significant scholarly attention in highly industrialized contexts. However, less evidence exists from sub-Saharan Africa about rural parents’ involvement in and perceptions of schooling. The little that exists frequently positions parents as uninterested and uninvolved, often from the perspectives of teachers, students and government officials. This study explores rural African parents' own perspectives on, and involvement in, schooling in two rural Yorùbá primary school-communities in North central Nigeria and whether, like the extant literature, teachers hold deficit perspectives of parents. To generate data, it uses an ethnographic approach, embedded within a situated Ọmọlúàbí moral ethical ethics framework, employing observation and interview techniques with 22 parents and grandparents, 15 children and 23 teachers. To analyze data, it applies thematic analysis to help capture the essence of the data. Deeper insight is facilitated by the study’s conceptual framework, a combination of capabilitarian concepts – functionings (valued beings and doings) and agency (to achieve functionings) – and Bourdieuian tools – social field, habitus (disposition) and capital (resources) – alongside an existing typology of parental involvement. The findings demonstrate that teachers hold deficit, but simultaneously empathetic, views of rural parents, influenced by their in depth knowledge of school-communities and shared personal experiences, particularly between female teachers and mothers. Parents articulate complex ethnotheories, or cultural beliefs about children’s lives, which transcend schooling and integrate other valued forms of learning: learning at home, Islamic schooling, and informal apprenticeships. Though parents value schooling, they are discouraged by their perceptions of its injustice, particularly the differential outcomes for poor and rich children. Parental involvement in schooling also goes beyond existing categories to reveal other basic, communal, disciplinary, socio-cultural and spiritual schooling practices. The study ultimately demonstrates that research on learning in rural sub-Saharan Africa which narrowly conceives learning as schooling and, therefore, excludes analysis of values and agency outside school learning, underrepresents and underrecognizes parental and other agency around learning.
    • NILAI-NILAI KOMUNIKASI PROFETIK DI ERA CYBER RELIGION
 (Studi Etnografi Virtual pada #jalurlangit di TikTok)

      Anindya Septiana Arfiani, NIM.: 20202012007 (2022-12-16)
      Cyber Community lahir menggeser masyarakat pada dunia nyata. Pergeseran ini kemudian membentuk cyberculture kebiasaan yang baru pada masyarakat kita, termasuk dalam bagaimana manusia beragama. Membawa modernitas, Cyber Religion mempertaruhkan kesungguhan dalam beragama melalui realitas sosial dalam dunia maya. Salah satu platform yang ramai diacu untuk beragama yakni TikTok, khususnya pada tagar #jalurlangit terdapat banyak sekali konten agama dengan memberikan informasi-informasi yang sepotong-sepotong cenderung simpang siur kemudian dikonsumsi serta dikomentari oleh ribuan orang dan tidak menutup kemungkinan diamalkannya juga. Melalui permasalahaan tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai bagaimana nilai-nilai komunikasi profetik yang ada pada konten #jalurlangit dan bagaimana media mempengaruhi manusia melalui #jalurlangit ditinjau dari perspektif Post-Humanist.
 Penelitian ini menggunakan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi pada komunikasi profetik untuk membedah permasalahan yang ada serta menggunakan dasar pemikiran post-humanist untuk memandang pergeseran budaya dalam beragama pada konten #jalurlangit di TikTok. Melalui etnografi virtual, pengumpulan data dilakukan secara spesifik pada konten yang ada di #jalurlangit serta beberapa literatur yang mendukung. Uji keabsahan data yaitu triangulasi teknik, triangulasi data dan sumber dan dianalisis secara berkesinambungan dengan cara mereduksi, menyajikan, menganalisis kemudian memverifikasi data.
 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ajakan yang ada pada konten di #jalurlangit memang banyak ditemukanmuatan komunikasi profetiknya. Namun, secara esensial dan etika konten #jalurlangit masih perlu memperhatikan kepatutan, kesesuaian fakta dan data, keakuratan informasi dan sumber yang menjadi rujukan agar tidak menjadi simpang siur dalam pelaksanaannya, atau bahkan penyimpangan-penyimpangan. Adapun yang mengikis nilai profetis yakni dengan munculnya pemanfaatan pesan agama untuk meningkatkan keuntungan pribadi. Peneliti juga menilik adanya respon followers #jalurlangit yang terbagi menjadi tiga klasifikasi, yakni followers yang memperhatikan, followers yang mengerti dan followers yang menerima. Selain itu, peneliti menemukan bahwa post-humanist memandang pergeseran budaya beragama pada #jalurlangit hanya bisa menempatkan dirinya sebatas ajakan atau pendukung dakwah digital. Namun, secara mendasar praktik-praktik keagamaan yang lebih esensial dan substansi harus dikembalikan kepada nash dan otoritas yang memiliki kewenangan akan hal tersebut guna meminimalisir distorsi pesan dan efek negatif. Maka, sebaiknya masyarakat maya mengembalikan konten tersebut melalui pembekalan diri (literasi media) agar tidak mudah terperangkap pada konten yang sifatnya masih ambigu, bahkan lebih jauh justru diharapkan mampu mengedukasi masyarakat di lingkungannya.
    • AL A'WAMIL AL MU'ATHIRAH A'LA JUDAH TARJAMAH AL NUSUS AL A'ARABIYAH 'INDA TULLAB AL FASL AL THANI MIN AL 'ALIYA BI MADRASAH NURUL UMMAH AL DINIYAH BI KOTA GEDE YOGYAKARTA SANAH 2020/2021 AL DIRASIYAH

      Muchtar Firdaus Bahtiar, NIM.: 16420032 (2020-12-22)
      Latar belakang dari penelitian ini adalah terjemah merupakan salah satu media untuk bertukar pikiran, ilmu, dan pandangan antar bangsa dalam bidang ilmu, sastra, kedokteran, kesenian, musik dan lainya, tetapi banyak terjemahan santri kelas dua Ulya Madrasah Diniyah Nurul Ummah sulit dipahami oleh santri lain. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kualitas terjemah santri kelas dua ‘ulya Madrasah Diniyah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta Tahun Ajaran 2020/2021. Dari tujuan tersebut diharapkan munculnya terjemahan yang berkualitas serta bermanfaat bagi masyarakat.
 Penelitian ini menggunakan penelitian campuran, pendekatan penelitian yang menggabungkan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan model urutan pembuktian (Explanatory Sequential Design), yaitu peneliti mengumpulkan data kuantitatif dan menganalisanya pada tahap awal, kemudian diikuti pengumpulan dan analisis data kualitatif.
 Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terjemah santri kelas Dua Ulya Madrasah Diniyah Nurul Ummah kurang berkualitas berdasarkan skor rata-rata instrumen penelitian kualitas terjemah diperoleh skor 2,089 dengan skor tertinggi 2,33 sedangkan skor terendahnya 1,5. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya terbagi menjadi faktor bahasa seperti: gramatikal, tekstual. Faktor budaya seperti: faktor idiom, etika, estetika dan politik. Faktor kompetensi penerjemah. Sedangkan faktor yang paling berpengaruh pada kualitas terjemah mereka adalah faktor bahasa.
    • NILAI-NILAI AGAMA DALAM ETOS KERJA PETANI SASAK (STUDI TERHADAP KEHIDUPAN PETANI SASAK DI DESA WAKAN, KECAMATAN JEROWARU, KABUPATEN LOMBOK TIMUR)

      Sukron Azhari, NIM.: 21205021004 (2023-03-20)
      Pertanian merupakan pekerjaan yang selalu digeluti petani sasak di Desa Wakan, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur dalam memenuhi kebutuhan ekonomi diri dan keluarganya. Dalam melalukan pekerjaan disektor pertanian juga terkadang mengalami resiko atau masalah yang dihadapi seperti gagal panen, dan harga jual rendah, akan tetapi petani sasak hanya menanggapinya dengan sikap tawakkal kepada Allah serta selalu mendepankan prinsif rizki sudah diatur sama Tuhan. Dengan kondisi petani sasak tersebut, menjadi faktor utama dalam melihat hubungan agama dan ekonomi terhadap kehidupan petani sasak di Desa Wakan. Dengan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan dua bentuk rumusan masalah yakni: sejauh mana nilai-nilai agama berkolerasi terhadap etos kerja petani sasak, dan bagaimana pengaruh etos kerja dalam mewujudkan kemakmuran kesejahteraan ekonomi petani sasak di Desa Wakan. Maka untuk teori yang digunakan dalam mengkaji fenomena ini dengan menggunakan teorinya Max Weber tentang Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, serta menggunakan teorinya James Scoot tentang Mekanisme Survival Of The Fittes. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan jenis penelitian kualitatif, dengan memperoleh data penelitian melalui observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Serta analisis data dengan cara menguraikan dan memberi arti sesuai dengan data lapangan setelah itu dengan menarik kesimpulan.
 Hasil penelitian ini menunjukkan etos kerja petani sasak dalam melakukan pekerjaan disektor pertanian dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Islam. Dengan demikian penulis akan menyimpulkan hasil penelitian mengenai etos kerja petani sasak yang dipengaruhi oleh agama, dan etos kerja yang dimiliki menjadi pendorong dalam mecapai kebutuhan hidup dari tahun ke tahunnya. Pertama, etos kerja petani sasak dimunculkan oleh doktrin agama melalui tuanguru, ustad, sehingga menjadi pendorong untuk selalu dalam melakukan pekerjaan disektor pertanian. Disamping itu petani sasak juga selalu menerapkan nilai-nilai agama seperti sabar, rajin, disiplin, dan sifat zuhud, terutama dalam mencapai pemenuhan kebutuhan hidup untuk menuju kemakmuran ekonomi. Namun etos kerja petani sasak yang dipengaruhi oleh agama Islam ternyata tidak mampu memberikan kemakmuran ekonomi atas hasil pertanian yang dikerjakan, kondisi itu dilatarbelakangi dengan adanya faktor sosial budaya dan pendidikan. Menyebabkan petani sasak selalu dalam menerapkan strategi bertahan hidup dari tahun ke tahunya. Kedua, strategi bertahan hidup yang diterapkan petani sasak seperti, (1) strategi mengalokasikan kebutuhan keseharian, (2) strategi alokasi produktivitas diri petani sasak, (3) strategi alokasi hubungan sosial kemasyarakatan. Dari ketiga strategi bertahan hidup tersebut, merupakan sebuah siklus kehidupan petani sasak yang selalu dilakukannya terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup akan ekonomi dari tahun ke tahunnya.
    • STIGMA SOSIAL BARU PADA KESENIAN TRADISI TANDHA’ DI MADURA KECAMATAN SARONGGI KABUPATEN SUMENEP JAWA TIMUR

      Syarifuddin, NIM.: 15540084 (2022-07-11)
      Tradisi tandha’ yang disertai musik gamelan yang melibatkan penari perempuan. Dalam pagelaran dimaksud untuk menghibur penonton yang mayoritas laki-laki bahkan menari bersama diatas panggung tayub. Namun tradisi ini mengalami sebuah pergeseran bahkan terbilang sangat merusak budaya tradisional. Tandha’ dulu yang diutamakan memahi sebuah gending dan menjaga sebuah etika diatas panggung, dengan gerakan yang halus dalam menari. Berbeda dengan tandha’ sekarang yang memang megutamakan bisa menyanyi ketimbang nembang dan memahami gending. Yang perlu digaris bawahi bawa tandha’ sekarang sangat instan, berbeda dengan tandha’ dulu yang melalui sebuah proses berguru bahkan sekolah. Karena tandha’ yang memang lahir dari keraton maka dari situlah etika yang luhur sangat dipertahankan. Dengan adanya pergeseran budaya dan juga tingkah yang melebihi batas tandha’ pun mengalami gempuran stigma dari masyarakat.
 Penulisan ini merupakan penulisan kualitatif, penulisan ini dilakukan dengan terjun langsung kelapangan guna untuk mengetahui secara langsung bagaimana tradisi tandha’ itu di Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Metode pengumpulan data dengan cara observasi, dilakukan dengan cara mengamati objek yang diteliti, yaitu tandha’ di Kecamatan Saronggi. Selain itu dengan metode wawancara untuk mendapatkan pernyataan langsung dari informan mengenai tradisi tandha’. Kemudian dengan dokumentasi sebagai cara mengumpulkan data yang autentik yang berkaitan dengan tradisi budaya tandha’. Penulisan ini mengguanakan teori stigma.
 Berdasarkan penulisan tentang stigma sosial terhadap tradisi Tandha’ maka ditemukan dua kesimpulan. Pertama stigma sosal tentang tandha’ lahir dari pertemuan budaya keagamaan masyarakat yang dipimpin oleh Kiai. Dalam hal ini kiai masih menggunakan sistem budaya lama fiqi sentris yang menjadikan pandangan kiai terhadap tari tandha’ merupakan hal yang berlawanan dengan moralitas dan norma keagamaan. Pandangan tersebut disampaikan melaui acara keagamaan, seperti pengajian dan perbincangan sehari-hari. Kedua fatwa kiai melihat tandha’ dari moralitas dan fiqih membawa tandha’ pada pergeseran, diantranya: tandha’ dilihat sebagai budaya luhur dan dekat dengan kekuasaan keraton menjadikan tandha’ yang terstigma pada masyarakat berupa labeling, identik dengan penghibur yang terbentuk oleh pemisah dan melihat mereka sebagai golongan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya.
    • SPIRIT KAPITALISME RUMAH MAKAN PADANG YANG DIKELOLA ETNIS MINANG DI SLEMAN, YOGYAKARTA

      RIVA VADILA, NIM. 13540033 (2018-02-23)
      Etnis Minang merupakan masyarakat beragama, beradat, dan berbudaya, yang masih memegang erat nilai-nilai tersebut, sebagaimana bunyi pituah Adat Basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Di antara budaya Minang yang masih kental hingga saat ini ialah merantau, yang menjadikan etnis Minang banyak dikenal oleh masyarakat umum. Dalam perantauannya, mereka dikenal cakap berdagang, terutama di bidang kuliner seperti Rumah Makan Padang, yang telah eksis di Indonesia, bahkan manca Negara. Melihat keadaan tersebut, terlihat bahwa kemajuan Rumah Makan Padang merupakan pengaruh spirit kapitalisme (milik Max Weber) dalam pengelolaannya. Artinya, etnis Minang dalam menjalankan usahanya dipengaruhi oleh agama, adat, dan budaya yang mereka yakini, sehingga melahirkan ide, etika, dan etos kerja. Selain itu, penulis juga melihat, pertumbuhan Rumah Makan Padang dipengaruhi pemilik usaha itu sendiri, yang memilih dan menentukan identitasnya masing-masing. Pasalnya, era modern menuntut pelaku usaha untuk menjamin kepuasan tiap pelanggan. Dengan tuntutan tersebut, terlihatlah pemilik usaha yang berkeinginan mempertahankan usahanya atau sebaliknya, seperti apa yang dijelaskan oleh Anthony Giddens. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan interview atau komunikasi langsung kepada pemilik Rumah Makan Padang di Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini telah dimulai sejak bulan April 2017 sampai Januari 2018. Dalam menentukan tempat penelitian, penulis mempertimbangkan beberapa faktor diantaranya, luas wilayah dan kepadatan penduduk. Sleman merupakan kabupaten terluas ke tiga (574,82 Km2) dengan jumlah penduduk terbanyak (1.180.479) di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data tersebut menunjukkan bahwa Sleman merupakan wilayah strategis untuk menumbuhkembangkan suatu usaha (baca: Rumah Makan Padang). Penulis mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan pemilik Rumah Makan Padang, sehingga menghasilkan tulisan yang rinci atau narasi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan dan studi pustaka. Selanjutnya dalam analisis beserta penyimpulannya, penulis menggunakan metode kualitatif, dengan mengandalkan dan menekankan sumber-sumber yang ada secara komperehensif. Sementara teknik pengolahan data, penulis menggunakan analisis dengan dua teori, yakni spirit kapitalisme dan teori identitas sosial. Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan sebuah kesimpulan, bahwa tumbuh dan berkembangnya Rumah Makan Padang di Sleman, Yogyakarta diakibatkan adanya spirit kapitalisme yang dipraktikkan pemilik usaha (baca: pemilik RM. Padang) dalam pengelolaannya, sumber spirit tersebut dapat berasal adat maupun agama. Selanjutnya, disimpulkan bahwa keberadaan Rumah Makan Padang, sampai saat ini sangat dipengaruhi pemiliknya yang memilih dan mempertahankan identitasnya sebagai pedagang, meski dihadapkan dengan berbagai tuntutan.
    • ETOS KERJA PEDAGANG SEMBAKO MUSLIM 
 PASAR BERINGHARJO YOGYAKARTA 
 

      KHUZRIYAH , NIM. 10540059 (2014-06-16)
      Penelitian ini berjudul “ Etos Kerja Pedagang Sembako Muslim Pasar Beringharjo”. Etos kerja merupakan semangat dan etika yang ada dalam diri seseorang dalam bekerja untuk mendapatkan keuntungan. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Etos para pedagang sembako yang sudah haji yang menjadi faktor penulis tertarik memilih penelitian ini. 
 Tujuan penelitaian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam terhadap etos kerja dan ada atau tidak pengaruh agama terhadap etos kerja pedagang sembako muslim Pasar Beringharjo yogyakarta. 
 Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian lapangan menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisisnya menggunakan teknik analisis deskriptif. pendekatannya menggunakan pendekatan sosiologis. 
 Penulis menyimpulkan bahwa para pedagang sembako muslim Pasar Beringharjo memiliki etos kerja yang baik, yang dimotivasi oleh motif biogenetis dan theogenetis. Motif biogenetis adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis terlihat dari kegigihan para pedagang dari dulu hingga sekarang mempertahankan usaha dagangnya. Motif theogenetis berupa keinginan manusia untuk berbakti kepada Tuhan, keinginan untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, hal ini mendorong untuk bekerja dan berusaha secara halal. Bekerja itu sendiri artinya bukan sekedar mencari materi saja, tetapi juga terdorong oleh komitmen terhadap agama yaitu merupakan ibadah kepada Allah SWT, untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pengaruh agama terhadap etos kerja pedagang sembako terlihat dari ketaatan pedagang sembako dalam menjalankan ibadah yang sudah menjadi kewajibannya, dan tidak menghalalkan segala cara dalam usahanya, karena mereka berkeyakinan bahwa rezeki datangnya dari Allah SWT.
 
    • POTRET HARMONI SOSIAL MAYORITAS HINDU DENGAN MINORITAS MUSLIM DI PANGGUNG TRADISI ROWAH DI KARANG JERO, KELURAHAN KARANG TALIWANG KECAMATAN CAKRANEGARA

      Sukardiman, NIM.: 19205022054 (2022-01-31)
      Rowah merupakan konstruksi sosial masyarakat Sasak dalam bentuk perayaan atau pesta yang biasanya dilakukan oleh umat Muslim Sasak dalam rangka mengekspresikan rasa syukur, atau mendo’akan sesama, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal. Di Karang Taliwang Rowah tidak hanya dihadiri oleh orang Muslim akan tetapi oleh orang Hindu yang jumlahnya tidak sedikit, dan acara tersebut menjadi ajang presentasi diri atau kesan diri kepada kelompok agama lain agar stabilitas sosial tidak terganggu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosesi rowah yang ada di Karang Jero dan bentuk-bentuk impression management mayoritas Hindu dan minoritas Muslim dalam budaya rowah.
 Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam upaya menggali data secara langsung dan lebih mendalam tentang hubungan di panggung rowah antara komunitas Hindu dan Muslim secara gamblang, tepat dan terukur. Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi partisipatif dengan terlibat langsung dalam aktivitas mereka. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Erving Goffman tentang Front stage dan back stage yang kemudian digunakan menjadi pisau analisis dalam melihat hubungan sosial di panggung budaya rowah.
 Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa ada beberapa proses dalam budaya rowah, yakni menyilaq (mengundang), bekelaq’an (memasak hidangan), begibung, dan ngejot (mengantarkan makanan). Rowah juga ada beberapa jenis, seperti rowah kematian, seperti nyiwaq, metangdase, nyatus, nyeribuq. Ada juga rowah akikahan, khitanan, rowah merariq dan lain sebagainya. dalam proses acara rowah tersebut biasanya ada beberapa bentuk-bentuk impresi yang tunjukkan masing-masing agama, yakni dari hindu memakai batik, mengucapkan salam, menggunakan bahasa Sasak halus, dan memberikan bantuan air dan uang kepada teman-teman yang mengadakan acara rowah. Sedangkan Muslim juga menunjukkan impresinya dengan memakai sapuq dan bebet, memakai bahasa Sasak yang halus, tersenyum dan menyapa ketika menyambut tamu dan menghidangkan makanan yang halal. Dari bentuk-bentuk impresi yang dilakukan masing-masing agama tersebut sangat jelas bahwa rowah sebagai panggung dan konstruksi front stage dan interkasi simbol-simbol antar umat beragama yang berimplikasi terhadap harmoni antar agama mayoritas dan minoritas di panggung budaya rowah dan kehidupan sosial sehari-hari. Di balik tradisi rowah memang ada paralelitasnya dengan nilai-nilai dasar kemasyarakat, seperti nilai gotong royong, etika, silaturrahmi. Namun, dibalik tradisi ini juga berdiri modernitas yang membuat adanya kesenjangan nilai-presentasi identitas masyarakat, apalagi dengan adanya pasar tourisme membuat identitas masyarakat pun hadir dalam wajah yang berbeda, di mana nilai-presentasi identitas seperti yang ada dalam tradisi rowah tidak terimplementasi dengan baik di ruang sosial secara maksimal. Karena memang hadirnya pasar tourisme memberikan celah lahirnya individualitas dalam masyarakat. sehingga diperlukan adanya kolektifitas dalam masyarakat untuk terus mempertahankan eksistensi dari tradisi ini.
    • Joseff Pieper, El concepto de pecado, versión castellana de Raúl Gabás Pallás, Ed. Herder, Barcelona, 1979, 119 pp.

      Baliña, Luis M. (Pontificia Universidad Católica Argentina. Facultad de Filosofía y Letras, 2022-08-18)
      Uno no sabe qué elogiar primero, si la brevedad, ponderada por Gracián, o la claridad latina de un estilo que pone alas a la prosa, otras veces más analítica, de Pieper. Señalar el camino histórico que recorre el autor es fácil. Desde las mitologías griegas y orientales, hasta Jurgen Moltmann, podemos trazar un itinerario cultural donde la pregunta por el pecado es una constante inquietud del hombre. El recorrido se detiene especulativamente en dos partes : primero, los sencillos relatos platónicos tantas veces pasados por alto en busca de interpretaciones más minuciosas y, por lo tanto, menos centrales que la constatación del mal y del pecado. Segundo, un Santo Tomás entendido a fondo, originalmente, por lo tanto no repetido disciplinarmente...
    • Cristianismo y libertad

      Passanti, Daniel (Pontificia Universidad Católica Argentina. Facultad de Filosofía y Letras, 2022-05-23)
      Resumen: La- Fundación para el Avance de la Educación ha difundido el libro Cristianismo
 y Libertad, escrito por los autores mencionados, con el propósitc de
 investigar acerca de la aparente contradicción entre la Doctrina Social de la
 Iglesia y determinadas afirmaciones de la ciencia económica. Sus autores, católicos
 y defensores de la economía de mercado, • parten de una premisa, esta.
 es: si la libertad es el elemento >fundamental de la ética cristiana también lo
 es para el logro de las legítimas aspiraciones temporales. Si bien la libertad
 es uno de los atributos de la persona humana, de la cual ésta se vale para
 el logro de sus legítimas aspiraciones, como juicio previo podemos decir que
 determinados postulados de la economía de mercado, así como el pensamiento
 de sus más altos exponentes (L.v.Mises, F.v.Hayek) están en franca y abierta
 contradicción con la Doctrina Social de la Iglesia que, en el Magisterio de los
 Pontífices, nos enseña cuáles deben ser aquellos principios oue deben regir el
 orden social, tanto en su aspecto económico, como político y cultural.
    • III Congreso Internacional de Filosofía Liatinoamericana; (Bogotá, Colombia, julio 9-13 de 1984), Ponencias (Vol. I), 420 págs. Actas y Serminarios (Vol. II), 208 págs. Universidad Santo Tomás, Facultad de Filosofía, Centro de Enseñanza Desescolarizada, Bogotá, 1985

      García Losada, Matilde Isabel (Pontificia Universidad Católica Argentina. Facultad de Filosofía y Letras, 2022-04-08)
      Resumen: El III Congreso Internacional de Filosofía Latinoamericana ha representado
 un avance en la realización del propósito de establecer un diálogo filosófico
 en el continente americano. Propósito éste expresado por la Universidad. Santo
 Tomás, cuando en 1980 convocaba al I Congreso y planteaba la necesidad de
 una reflexión conjunta, hecha desde la experiencia histórica latinoamericana.
 "Filosofía y Cultura en América Latina" ha sido el tema central del Congreso
 y el que constituye el eje de las Ponencias Centrales que se recogen en
 el Volumen I. Se destacan: "El problema de la identidad cultural latinoamericana"
 (Francisco Miró Quesada) ; "Cultura latinoamericana y filosofía de la
 liberación (Enrique Dussel) ; "Bolívar y la filosofía de la historia" (Arturo
 Andrés Roig); °Religión del pueblo, sabiduría popular y filosofía inculturada"
 (Juan Carlos Scannone) ; "La voz del mito" (José Lorite Mena) ; "Civilización
 y barbarie" (Gregor Sauerwald) `Tradición y reto en la cultura religiosa latinoamericana"
 (Walter Remond).
 Las ponencias centrales revelan que sus autores han visualizado el ámbito
 de la cultura en una perspectiva auténticamente latinoamericana, es decir. desarrollada en un continente marcado por hechos como el mestizaje y la
 transculturación, entre otros.
 Las indagaciones reflejan una reflexión eminentemente filosófica, que va
 desde la pregunta metafísica por el ser y la identidad cultural latinoamericana
 hasta la respuesta ética, pasando por la consideración de dimensiones tal como
 la religiosidad popular, sabiduría del pueblo —que señala la existe de
 valores básicos centrados en la sabiduría y la justicia— o la creatividad artística,
 que es expresión del ser y reflejo de la historia de las distintas comunidades.
    • PERAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI RELIGIUSITAS ANAK DI MASA PANDEMI DI RT 36 RW 09 IROMEJAN KLITREN GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA

      Suci Nurmaya Ulfah, NIM.: 17104010028 (2021-12-02)
      Latar Belakang penelitian ini adalah Pembinaan religiusitas (keagamaan) menjadi sangat penting bagi kehidupan, terutama generasi muda atau generasi penerus bangsa. Keyakinan agama berfungsi untuk membangun kesadaran anak tentang adanya Tuhan dan hubungannya dengan pencipta. Pendidikan etika juga penting untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Anak-anak perlu diajarkan bagaimana bersikap kepada orang tua, guru, dan teman-teman. Namun dalam pelaksanaan pendidikan tidak bisa berjalan seperti yang kita harapkan bersama adanya pandemi Covid-19 yang memasuki di Negara Indonesia, pandemi mengubah proses pembelajaran menjadi daring (pembelajaran jarak jauh). Oleh karena itu semenjak sekolah daring anak menjadi memiliki banyak waktu luang yang menyebabkan anak banyak menyalah gunakan waktunya, apabila tanpa pengawasan dari orang tuanya. Maka dari itu perlulah peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas anak di masa pandemi ini, agar anak dapat terarahkan dengan baik dan menjadi anak yang sholih-sholihah.
 Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan. Adapun pengumpulan datanya menggunakan metode, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan metode kualitatif deskriptif. Adapun subjek yang diambil dari penelitian tersebut yaitu warga di wilayah RT 36 RW 09 Iromejan.
 Hasil Penelitian ini adalah: (1) Nilai-nilai religiusitas yang ditanamkan dalam diri anak didik meliputi, nilai ibadah, jihad, amanah, ikhlas, akhlak dan kedisiplinan serta keteladanan, yang mana kelima nilai tersebut terintegrasi ke dalam ke dalam kehidupan anak didik sehari-hari, (2) Peran orang tua mempunyai tiga bentuk pola pendidikan yaitu perilaku keagamaan, sikap kegamaan dan keteladanan agama. ketiga bentuk penanaman tersebut digunakan dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas pada diri anak didik (3) Faktor pendukung dalam melakukan penanaman nilai religiusitas pada diri anak didik meliputi, kondisi demografi, motivasi, kegaitan keagamaan dan terdapat beberapa Lembaga Pendidikan agama. Adapun faktor penghambat meliputi budaya digital, rendahnya kepekaan orang tua, pekerjaan orang tua dan kenakalan remaja.
    • INTEGRASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 3 BANTUL

      NUR LAILATUL MUBAROKAH, NIM. 08410241 (2013-10-28)
      Latar belakang tulisan ini adalah: kegelisahan peneliti terhadap proses
 pembelajaran PAI saat ini yang belum mampu mengakomodir permasalahan yang
 ditimbulkan karena kondisi keragaman budaya atau multikultural di masyarakat.
 Untuk mengakomodir permasalahan tersebut, diperlukan pembelajaran PAI yang
 berwawasan multikultural. Dalam hal ini SMA N 3 Bantul mengintegrasikan
 nilai-nilai multikultural dalam pembelajaran PAI yang dilaksanakan dalam proses
 pembelajaran baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi
 pembelajaran.
 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil latar
 belakang SMA N 3 Bantul. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi,
 wawancara, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
 model Miles dan Huberman, yaitu reduksi data, display data, dan penarikan
 kesimpulan. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung
 oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
 mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan
 yang kredibel. Pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini
 adalah triangulasi.
 Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Pengembangan nilai-nilai
 multikultual di sekolah dilakukan dalam dua tataran implementasi, yaitu
 konseptual dan operasional. Dalam tataran konseptual dapat dilihat dari rumusan
 visi, misi, tujuan sekolah, dan model kurikulum dimana kurikulum yang
 dikembangkan sesuai dengan kurikulum PAI yang berwawasan multikultural.
 Sedangkan dalam tataran operasional dapat dilihat dari pembelajaran di kelas dan
 budaya sekolah. (2) Pelaksanaan integrasi nilai-nilai multikultural dalam
 pembelajaran Pendidikan Agama Islam siswa kelas XI di SMA N 3 Bantul
 dilakukan dalam perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
 pembelajaran dan tindak lanjutnya. Integrasi nilai-nilai multikultural dalam
 perencanaan pembelajaran dilakukan dengan mencantumkan nilai-nilai
 multikultural dalam silabus dan RPP. Pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat dari
 kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup yang sesuai dengan pembelajaran PAI
 yang berwawasan multikultural. Evaluasi pembelajaran dilakukan dalam penilaian
 kognitif melalui tes tertulis dan lisan, penilaian sikap melalui etika pergaulan,
 sopan santun, dan penilaian psikomotorik melalui unjuk kerja. Tindak lanjut
 pembelajaran dapat dilihat dari proses pengintegrasian nilai-nilai multikultural
 dalam pembelajaran PAI yang meliputi tujuan, materi, metode,dan model
 evaluasi. (3) Hasil pelaksanaan integrasi nilai-nilai multikultural dalam
 pembelajaran PAI siswa kelas XI menunjukan terciptanya lingkungan belajar
 yang demokratis, minimnya konflik baik antar sesama siswa maupun siswa
 dengan guru dan masyarakat sekolah yang lain, serta toleransi yang berjalan
 dengan baik, baik antar siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa.