Abstract
Most religious studies (read: how to conduct the fiqh) is dominated by the tendency of theory-centric. As a result, in the social context, the doctrine contained in the fiqhhas not often been seen in the direction of the practical forms of life. Therefore, in accordance with the nature and process of ijtihad, changes the perspective ofjurisprudence; hence, it becomes more realistic and dynamic, is possible and necessary. Thus, fiqh can be optimized and actualized as the values and behavior insocial life which continues to develop. According to the cleric Mahfud, there have to be spirit to change the paradigm of the paradigm on how to do the fiqh from "truthorthodoxy" towards paradigm of "social meaning," If the first deals with reality on truth and the character fiqh is "black and white" in facing the reality, the seconduses jurisprudence as a "counter discourses" and demonstrates a meaningful character.Selama ini kajian keagamaan (baca: cara berfiqh) didominasi oleh kecenderungan theosentris. Akibatnya, dalam konteks sosial, ajaran syari’at yang tertuang dalamfiqh, sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan yang praktis. Karena itu, sesuai dengan watak dan proses ijtihadnya, maka perubahan cara pandangterhadap fiqh sehingga menjadi lebih realistis dan dinamis, sangat dimungkinkan dan diperlukan. Dengan demikian, fiqh dapat dioptimalkan dan diaktualisasikansebagai tata nilai dan prilaku dalam kehidupan sosial yang terus berkembang. Menurut Kiai Sahal Mahfud, harus ada keberanian untuk merubah paradigmaberfiqh dari paradigma “kebenaran ortodoksi” menuju paradigma “pemaknaan sosial,” Jika yang pertama menundukkan realitas pada kebenaran fiqh sertaberwatak ”hitam putih” dalam mensikapi realitas, maka yang kedua menggunakan fiqih sebagai “counter discourses” serta memperlihatkan wataknya yangbernuansa.
Date
2017-06-12Type
info:eu-repo/semantics/articleIdentifier
oai:ojs2.journal.iaingorontalo.ac.id:article/59http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/au/article/view/59